Lantaran saya sudah menahbiskan diri untuk skeptis terhadap apa saja yang berseliweran di media sosial, terutama Twitter, maka saya cenderung tidak ambil pusing masalah klepon yang ramai kemarin.
Bagi saya tidak penting dan tidak lucu sama sekali atau tidak ada urgensinya untuk dipermasalahkan. Saya memang berprinsip bahwa sesuatu yang dari dulu sudah terbukti kebenaran atau kesalahannya, maka tak perlu dibahas. Terlebih, jika hal itu malah mengubah  substansi dari permasalahan tersebut.
Sejak dulu, saya yakin bahwa klepon adalah makanan enak, dibuat dari bahan yang baik, dan pastinya halal. Maka, ketika ada isu bahwa klepon bukan makanan yang islami, saya tidak ambil pusing.
Pemilihan kata tidak islami pun juga ambigu. Klepon adalah sebuah benda yang jelas tidak beragama. Tidak memiliki KTP dan hak untuk menjalankan agama yang dianutnya. Jelas-jelas, dia tidak islami dan sampai kapan pun dia bukan seorang muslim.
Tetapi, klepon adalah teman makan bagi banyak orang, baik itu muslim maupun bukan. Baik yang mempermasalahkan keislamannya atau tidak. Saya yakin, jika orang disuguhi klepon mana bisa menolak. Apalagi, jika bentuknya bulat dengan ukuran jumbo, dan gula aren yang ada di dalamnya. Tanpa mempermasalahkan ia muslim atau tidak, secara otomatis klepon akan langsung masuk ke mulut.
Sayangnya, lagi-lagi ini tidak berlaku bagi sebagian orang. Entah dengan tujuan apa, yang jelas mempermasalahkan klepon tidak islami atau malah bereaksi berlebihan atas permasalahan ini, bagi saya kok sia-sia ya. Hanya buang-buang waktu , tenaga dan pikiran. Lumayan lho, segala daya dan upaya itu habis sehingga tidak bisa bekerja mencari uang dengan baik. Tidak bisa mendapatkan pundi rupiah yang dapat digunakan untuk membeli klepon.
Di balik ramainya masalah klepon ini, satu hal yang pasti bahwa orang Indonesia sangat mudah diadu domba. Sangat mudah terpancing emosi dan memberi panggung bagi isu-isu yang sangat tidak penting. Sepenting apa sih mempersoalkan masalah ini?
Padahal, bangsa kita sedang diuji oleh peperangan yang tidak terlihat secara kasat mata. Yang jauh lebih mengerikan daripada rasa was-was untuk memakan klepon ini. Apalagi kalau bukan wabah covid-19.
Tak hanya itu, saat unggahan mengenai klepon ini hanyalah hoaks dan cara untuk mengacaukan dunia maya saja, ini membuktikan bahwa banyak orang yang masih tidak mau belajar. Tidak mau mengecek apakah unggahan tersebut asli atau memang hanya editan agar ramai diperbicangkan.
Belum lagi, pola yang sering dilakukan dengan cara unggah, lalu dibiarkan viral, dan kemudian dihapus sudah lama dilakukan. Ini yang sering menjadi pola umum para penyebar hoaks terutama mengenai isu agama tertentu. Sudah banyak isu sensitif nan receh dilempar seperti ini agar masyarakat mudah terpengaruh dan diadu domba.
Walau kerap terjadi, cek dan ricek seringkali tidak dilakukan banyak orang. Yang penting mereka bisa langsung mengunggah rekasi atas unggahan tersebut. Yang penting emosi mereka bisa tersalurkan dengan mengajak orang lain untuk ikut bereaksi tanpa dasar yang jelas. Kalau begitu, sungguh orang Indonesia amat mudah diperdaya.
Uniknya lagi, unggahan tersebut juga didengungkan oleh mereka yang memiliki banyak pengikut. Yang entah dengan tujuan apa, yang jelas bagi saya mereka tidak pantas untuk diikuti. Bagaimana pantas, wong mengecek kebenaran atas suatu isu receh saja tidak mau. Â
Padahal kalau dipikir secara logika sederhana, kok ya penting amat mempermasalahkan keislaman klepon ini. Sesuatu yang sebenarnya tidak perlu diributkan. Kalau pun ada yang meributkan, bisa jadi si pengunggah awal itu kurang seons. Tidak perlu dihiraukan dan diberi panggung. Biarlah ia hilang dengan sendirinya.
Namun, rasanya sulit untuk bisa belajar mengecek kebenaran suatu informasi. Lantaran, sebagai bangsa yang besar, rasanya kita lebih bangga dengan kehebatan gawai kita dan unggahan nan menarik. Tapi, kita alpa jika seharusnya bisa lebih arif dan bijaksana dalam mendapatkan sebuah isu yang belum terbukti kebenarannya.
Salam waras.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H