Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Apa Kabar Para Penjaja Makanan di Sekolah?

21 Juli 2020   08:08 Diperbarui: 21 Juli 2020   19:45 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi covid-19 benar-benar memukul sektor ekonomi di berbagai bidang.

Salah satunya adalah para penjaja makanan di sekolah. Baik mereka yang berjualan di dalam kantin sekolah atau pun mereka yang berjualan di luar sekolah.

Dengan tidak adanya kegiatan belajar mengajar secara tatap muka, secara otomatis kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh anak-anak dan para penjaja pejaja makanan pun otomatis terhenti.

Praktis, selama hampir empat bulan lebih mereka tidak mendapatkan pemasukan. Ini jauh lebih lama dibandingkan saat libur sekolah yang biasanya hanya berlangsung selama dua minggu.

Tak hanya itu, dengan tidak jelasnya kapan sekolah akan mulai masuk kembali dalam enam bulan ke depan, mau tak mau mereka harus memutar otak bagaimana caranya supaya bisa tetap bertahan dalam pandemi ini.

Beberapa di antara mereka banyak yang beralih untuk berjualan masker, tisu, dan peralatan pendukung untuk mencegah wabah covid-19. Tren penjualan aneka barang semacam ini menjadi umum karena pada saat awal merebak, kebutuhan akan barang-barang tersebut cukup tinggi.

Ada sekitar 4 tetangga saya yang biasanya berjualan cilok, mainan, dan beberapa makanan di depan SD kini memarkir rombongnya dan mulai berjualan bahan-bahan tersebut.

Tak hanya itu, ia juga masih berkeliling menjajakan barang dagangannya ketika hari tertentu semisal hari sabtu dan minggu. Saat anak-anak banyak yang bermain di lapangan lantaran tugas sekolah yang tidak banyak.

Menurut penuturan beberapa dari mereka, rasanya sayang untuk mengakhiri kegiatan berdagang makanan atau mainan. Sudah bertahun-tahun mereka melakukan pekerjaan tersebut. Membuat cilok, batagor, dan lain sebagainya rasanya sudah mendarah daging. Jadi, ketika wabah ini merebak, walau sekolah tutup, rasanya untuk meninggalkan kegiatan berjualan tersebut rasanya sulit.

Kalau tidak berjualan di lapangan atau berkeliling dari rumah ke rumah, beberapa di antara mereka berjualan di pasar dadakan yang berada di dekat rumah saya.

Meski keberadaan pasar ini juga terancam lantaran tidak melakukan protokol kesehatan dengan baik, tetapi semakin lama semakin banyak pedagang makanan yang awalnya berjualan di sekolah ikut berdagang di sini.

Akses jalan yang digunakan untuk berjualan pun semakin panjang. Meski cukup was-was dengan keadaan ini, tetapi tidak ada pilihan lain. Pasar dadakan ini menjadi pilihan berjualan karena masih banyak anak-anak yang ikut orang tuanya berbelanja.

Di antara mereka pasti ada yang meminta untuk dibelikan makanan atau mainan yang biasanya mereka beli di sekolah. Jadi, para pedagang ini masih membidik target anak-anak sebagai mitra bisnis.

Kelengangan di depan gerbang sebuah sekolah di suatu pagi yang biasanya ramai pedagang. - Dokumen pribadi
Kelengangan di depan gerbang sebuah sekolah di suatu pagi yang biasanya ramai pedagang. - Dokumen pribadi
Tentu, tidak semua makanan bisa terjual lantaran pasar ini hanya berlangsung saat pagi hari. Beberapa makanan yang bisa disantap saat pagi semisal kue leker, kue pukis, dan lain sebagainya cukup laris.

Sedangkan, pedagang makanan seperti cilok, batagor, dan lain sebagainya yang baru bisa dikonsumsi saat siang hari tidak banyak terlihat berjualan. Makanya, mereka memilih berjualan di lapangan atau berkeliling saat sore hari.

Untuk pedagang kantin sendiri, biasanya mereka meneria orderan melalui media sosial atau pun aplikasi layanan pesan antar. Mereka kini banyak yang menyasar para pekerja kantoran dan mahasiswa yang masih berada di kos-kosan. 

Produk yang mereka jual memang kebanyakan aneka menu nasi. Jika biasanya mereka menjual dengan harga murah dan dalam wadah mika, kini tentu mereka kemas dalam nasi bungkus atau kotak kardus. Dengan porsi yang tentu jauh lebih banyak dan bervariasi, usaha ini tetap coba mereka jalankan agar tetap bisa bertahan.

Namun, tak semua pedagang bisa tetap bertahan dengan dagangannya. Ada juga yang memilih untuk mengakhiri kegiatan berdagang dengan menjual segala sarana berjualan. Ada yang menjual gerobak, wajan, tabung gas elpiji, dan lain sebagainya.

Lapak jualan online sering saya temukan dalam komunitas media sosial lokal. Barang-barang tersebut dijual murah yang penting segera laku. Bisa jadi, mereka benar-benar mengakhiri karir sebagai pedagang makanan di sekolah.

Tidak jelas apa yang akan mereka lakukan sekarang. Saya hanya mendengar salah satu tetangga yang beberapa waktu lalu pamit untuk kembali ke desa mereka. Kembali bercocok tanam dan entah akan melakukan pekerjaan apa saja di sana. Rumah kontrakannya pun sepi dan barang yang digunakan untuk berjualan sudah tidak ada lagi. Sebelumnya, ia berjualan pentol korea dan istrinya menjadi buruh cuci.

Pandemi ini memang memukul dunia perdagangan di sekolah. Jika biasanya banyak untuk yang didapat, kini bisa bertahan saja sudah sangat baik. Kalau pun nanti sekolah buka, tentu mendapatkan pemasukan yang sama dengan sebelumnya juga tidak mudah.

Faktor keamanan dan kebersihan yang tentu akan diperhatikan membuat tidak banyak anak-anak yang bisa leluasa membeli barang dagangan mereka.

Suasana kantin sekolah yang sepi tanpa pedagang dan siswa. - Dokumen Pribadi
Suasana kantin sekolah yang sepi tanpa pedagang dan siswa. - Dokumen Pribadi
Terlebih, kini mulai ada larangan yang dipasang oleh beberapa sekolah bagi para pedagang lantaran wabah covid-19 yang belum mereda. Larangan ini dipasang karena sesekali ada kegiatan tatap muka di sekolah, entah untuk mengambil soal, mengambil buku, atau mengambil seragam.

Dengan adanya larangan ini, secara otomatis pergerakan aktivitas para pedagang di sekolah semakin sempit. Mau tak mau, mereka harus mencari seribu cara agar pemasukan tidak terhenti.

Bagaimana dengan pedagang di sekolah yang ada sekitar Anda? Bagaimana kondisi mereka sekarang? Cerita yuk!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun