Saya selalu terngiang setiap melihat catatan pada buku tamu sebuah candi yang saya kunjungi.
Ada yang terisi sehari sebelumnya, tiga hari sebelumnya, bahkan ada yang seminggu sebelumnya. Entah lantaran buku tamu tersebut lupa untuk tidak diisi oleh para tamu atau memang tak banyak dikunjungi.Â
Bahkan, pada suatu ketika, saat saya datang ke candi sore hari menjelang tutup, saya adalah satu-satunya pengunjung di candi tersebut.
Apa yang saya alami memang menjadi hal yang biasa terjadi. Berbeda dengan tempat wisata lain, candi seolah terlupakan dan tidak menarik untuk dikunjungi. Tentu ada beberapa pengecualian bagi candi yang memang sudah banyak mendapatkan nama, baik nasional maupun internasional.Â
Candi Prambanan dan Candi Borobudur misalnya. Dua candi yang tak pernah habis mendapatkan kunjungan wisatawan kecuali saat pandemi Covid-19 ini.
Namun, untuk candi-candi lainnya yang tidak populer di masyarakat, jangankan dikunjungi. Keberadaan suatu sang candi saya tidak banyak orang yang tahu.Â
Bahkan, saat saya mengunggah foto atau video dari sebuah candi, banyak rekan yang menanyakan lokasi keberadaan candi. Atau, bagi mereka yang rumahnya dekat dengan candi tersebut malah baru tahu kalau di dekat tempat tinggalnya ada sebuah candi.
Selain jarang dikunjungi, berbeda dengan tempat wisata lain, waktu kunjungan orang ke candi cukup singkat. Paling lama sekitar 30 hingga 45 menit.Â
Selepas mereka berfoto dan puas dengan hasil foto yang mereka dapatkan, mereka pun akan meninggalkan candi tersebut. Kalau pun lama, biasanya mereka yang ingin melakukan pengambilan gambar untuk keperluan tertentu. Prewedding misalnya.
Padahal, berwisata ke candi sejujurnya ada banyak hal seru yang bisa dilakukan.
Pertama, sensasi menemukan lokasi candi adalah keseruan yang timbul dari kegiatan ini. Dengan tidak banyaknya orang yang mengetahui lokasi candi, bisa saja kita harus berputar-putar dahulu sebelum menemukan pintu masuk dari candi yang ingin kita tuju.
Pengalaman pribadi ketika berkunjung ke Candi Bangkal Mojokerto, saya harus berputar-putar mencari lokasi candi ini hingga 30 menit. Padahal, dari kejauhan, bangunan candi tersebut sudah tampak dari balik sawah.Â
Lantaran sudah cukup capai berputar-putar memasuki gang dan bertanya kepada penduduk, saya sempat akan putus asa. Eh, tiba-tiba saja di suatu jalan saya menemukan pos satpam dan papan nama candi yang saya tuju.
Walau pada akhirnya timbul komentar dari warganet ternyata candi yang saya cari dengan susah payah ukurannya sangat kecil, itu tak menjadi penghalang. Yang penting perjuangan untuk mencari candi sudah berhasil dilakukan.
Keseruan kedua tentu saat bisa mengamati langsung dari dekat bangunan candi yang selalu lebih fantastis dari apa yang saya lihat di gambar. Saya selalu membayangkan ketinggian candi yang biasanya diukur dengan satuan kaki atau meter.Â
Kita-kira jika disandingkan sama dengan bangunan modern setara dengan  tingkat berapa ya.Â
Dari beberapa candi yang saya datangi, untuk sementara ini saya takjub dengan Candi Jawi Pasuruan yang tingginya mencapai 24,5 meter. Dari beberapa literatur yang saya baca, rata-rata sebuah bangunan satu lantai memiliki ketinggian sekitar 4 meter.Â
Kalau disandingkan, maka candi tersebut bisa dikatakan setara dengan bangunan 6 lantai. Iya, saking tingginya saya sampai kesulitan memotret candi itu dalam bagian yang utuh mulai bawah hingga atas.
Belajar relief yang menceritakan berbagai kisah seputar kehidupan dan ajaran dharma juga tak kalah seru. Terlebih, beberapa relief candi menggambarkan  kisah-kisah fabel yang saat kecil saya sudah pernah mendengarnya.
Dulu, ketika saya belajar mengenai topik ini di sekolah, saya selalu mendapatkan persepsi bahwa candi bergaya Jawa Tengahan memiliki bentuk yang gemuk dan pendek sedangkan candi bergaya Jawa Timuran memiliki bentuk yang sebaliknya.
Ternyata, perbedaan itu tidaklah saklek demikian. Meski, pola pada umumnya seperti itu. Ada beberapa candi di Jawa Timur yang bahkan memiliki bentuk gaya Jawa Tengahan. Candi Badut misalnya.Â
Bahkan, ada candi yang merupakan peralihan dari gaya Jawa Tengahan menuju gaya Jawa Timuran. Dari yang gemuk dan pendek menjadi ramping dan tinggi. Candi Kidal adalah contohnya.
Selain itu, belajar mengenai peripih atau benda yang ditanam di dalam candi juga tidak boleh dilewatkan. Peripih yang bisa berupa koin, tanaman, atau tulang bisa menjadi pertanda alasan suatu candi dibuat.Â
Untuk penghormatan kepada dewa atau sebagai lambang kesuburan. Dari perpipih tersebut juga bisa diambil informasi alasan di tempat tersebut dibangun sebuah candi.
Dalam kunjungan ke sebuah candi, saya sempat bertemu dengan seorang ibu dan anaknya yang berusia TK dan SD berkeliling candi. Sang anak terus bertanya mengenai bangunan candi.Â
Mengapa ada kepala yang mengerikan di bagian atasnya, mengapa batunya berwarna merah kecoklatan, mengapa ada gambar singa di temboknya, dan beberapa pertanyaan menarik lainnya.Â
Sayangnya, sang ibu tidak menjawab dengan baik pertanyaan dari sang anak dan terus mengajak mereka berfoto. Sedangkan, informasi tersebut sebetulnya sudah ada pada papan pengumuman.
Mungkin saja, jika informasi dibuat lebih menarik seperti pada Candi Borobudur dan Candi Prambanan, maka kemungkinan akan  lebih dibaca oleh pengunjung. Tetapi, tentu hal ini sulit dilakukan karena banyak candi yang tidak mematok tarif masuk sebanyak dua candi tersebut. Bahkan, beberapa candi hanya menyaratkan pengunjung untuk mengisi buku tamu.Â
Atas alasan ini, peran dari penjaga candi sangat diperlukan semisal mengarahkan pengunjung untuk membaca informasi seputar candi dan apa saja yang tidak boleh dilakukan.Â
Informasi ini sangat penting agar mereka memiliki gambaran yang jelas serta bisa berkontribusi menceritakan terhadap orang sekitar atau dalam upaya pelestarian candi.
Makanya, saya cukup miris melihat pengunjung yang berfoto dan abai menjaga perilakunya di dalam candi. Semisal menaiki arca dan bagian yang tidak boleh dinaiki serta mencoret di dinding candi. Atau, menggunakan drone tanpa izin petugas demi keperluan konten semata.
Berwisata tak harus jauh dan mahal kan? Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H