Mengkritik pemerintah adalah kegiatan yang paling sulit dilakukan di Indonesia. Sebuah negara yang (katanya sih) menjunjung tinggi demokrasi. Mengkritik pemerintah adalah kegiatan yang akan seakan "haram" dilakukan bagi setiap orang. Semua orang "harus" tunduk pada keputusan pemerintah. Apa pun itu.
Terdengar berlebihan. Bukannya masih banyak yang bisa mengkritik pemerintah? Oh jangan salah. Kasus Bintang Emon yang sebenarnya mengkritik dengan amat lihai dan asyik ternyata juga berbuntut panjang. Cercaan dan fitnah yang timbul padanya adalah bukti bahwa mengkritik pemerintah adalah tindakan yang "tidak boleh dilakukan".
Meski demikian, dari apa yang dilakukan oleh Bintang Emon, saya justru makin semangat 45 belajar untuk mengkritik pemerintah. Tentu, apa yang saya kritik adalah apa saja yang seharusnya tidak dilakukan oleh pemerintah dalam kaitannya sebagai penyelenggara negara. Saya masih memberi apresiasi terhadap beberapa kebijakan pemerintah yang masih bisa dikatakan berpegangan pada prinsip menyejahterakan rakyat. Semisal, keputusan untuk menunda cicilan kredit bagi mereka yang terdampak covid-19. Jujur, itu harus diapresiasi.
Tetapi, ada banyak kebijakan pemerintah yang memang harus dikritik. Tidak usah disebutkan satu per satu karena akan banyak sekali dan tidak akan muat. Salah satunya adalah inkonsistensi pemerintah dalam menerapkan pembatasan sosial dalam kaitannya mencegah wabah covid-19. Kadang begini kadang begitu. Sehari begini sehari begitu. Aku ingin begini kamu ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali.
Oke, cukup.
Dengan inkonstensi ini, wajar sebenarnya untuk mengkritik kebijakan pemerintah terutama saat membuka keran sarana transportasi. Pembukaan Mall yang seakan benar-benar harus dilakukan kalau tidak maka akan kiamat juga menjadi salah satu alasan untuk mengkritik pemerintah. Lantaran, bagaimana tidak KZL, sudah berbulan-bulan patuh pada instruksi pemerintah dengan di rumah saja eh malah kini dibuka bebas. Makanya, kritik kepada pemerintah pun kadang saya lemparkan.
Lucunya, beberapa (oknum) teman yang dari tahun 2014 begitu setia dan tidak bisa lepas dari pemerintah malah menertawakan siapa saja yang mengkritik pemerintah. Entah dengan meme, sindiran, atau pun terus memberikan "prestasi"pemerintah.
Otomatis, saya pun semakin menjadi-jadi. Tetapi, lama-lama capai ya kalau mengkritik pemerintah dengan cara biasa. Saya pun mencoba menggunakan analogi terbalik. Memuji Pemerintah Filipina pun saya lakukan. Iya, saya pun menjadi buzzer Pemerintah Filipina dadakan untuk memberikan kritik kepada pemerintah Indonesia.
Semisal, saya memuji ketegasan Pemerintah Filipina dalam membatasi pergerakan warga saat wabah covid-19 mencapai puncaknya. Saya pun mengunggah rapat dengar pendapat Presiden Duterte bersama para akademisi dan para tokoh penting untuk mendiskusikan apa yang harus dilakukan oleh pemerintah agar kasus positif covid-19 tidak naik secara signifikan tetapi ekonomi rakyat juga tidak amblas.
Dalam unggahan media sosial, saya pun memuji terang-terangan terhadap apa yang dilakukan oleh Pemerintah Filipina yang mau mendengarkan aspirasi dari akademisi yang memang memiliki keilmuan di bidang tertentu. Ini tentu berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang "of course bodo amat" terhadap suara dari kalangan akademisi.
Kasus yang mulai menurun dengan kematian rendah dan tentunya jumlah tes PCR dan tes lain hampir 2,5 kali lipat daripada di Indonesia. Saking masifnya saya mengunggah berbagai hal itu, saya bahkan direspon kenapa tidak pindah saja ke Filipina. Otomatis, jawaban "tentu, tunggu saja" pun muncul.
Apa yang saya lakukan bisa jadi adalah sebuah jalan buntu atas usaha untuk mengkritik dan menyadarkan pemerintah ke jalan yang benar. Ini juga tak lepas dari ngerinya pasal karet UU ITE di negeri ini yang dengan mudah menjerat siapa saja yang mencoba bermain-main terhadap kebijakan pemerintah.
Dengan mengkritik dengan cara ini, saya menemukan keasyikan tersendiri, karena jelas tidak secara eksplisit. Walau demikian, saya sangat berharap dengan cara ini, pesan agar pemerintah Indonesia memperbaiki diri bisa sampai. Kalau pun kembali diserang, saya tinggal tertawa dan tentunya berbahasa Tagalog ria. Mana mereka paham?
Dengan kemunculan Bintang Emon, semangat untuk mengkritik pemerintah dalam cara yang berbeda semakin saya pelajari lebih dalam. Saya seakan mendapat suntikan semangat untuk memaparkan apa yang saya yakini benar. Tentu, saya belajar untuk semakin lihai dalam mengolah kata agar tidak menyerempet ke ranah yang sensitif. Yang bisa membangunkan mereka yang siap menyerang siapa saja yang berseberangan.
Semangat ya Bintang Emon ditunggu karya barunya lagi. Saya mau melihat lagi kebijakan junjungan saya, Yang Mulia Bapak Presiden Rodrigo Duterte.
Ang galling naman Emon. Salamat!
 Eh habis ini saya enggak ditandai kan? Kalau ditandai arisan enggak apa-apa sih. Hehe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H