Kasus yang mulai menurun dengan kematian rendah dan tentunya jumlah tes PCR dan tes lain hampir 2,5 kali lipat daripada di Indonesia. Saking masifnya saya mengunggah berbagai hal itu, saya bahkan direspon kenapa tidak pindah saja ke Filipina. Otomatis, jawaban "tentu, tunggu saja" pun muncul.
Apa yang saya lakukan bisa jadi adalah sebuah jalan buntu atas usaha untuk mengkritik dan menyadarkan pemerintah ke jalan yang benar. Ini juga tak lepas dari ngerinya pasal karet UU ITE di negeri ini yang dengan mudah menjerat siapa saja yang mencoba bermain-main terhadap kebijakan pemerintah.
Dengan mengkritik dengan cara ini, saya menemukan keasyikan tersendiri, karena jelas tidak secara eksplisit. Walau demikian, saya sangat berharap dengan cara ini, pesan agar pemerintah Indonesia memperbaiki diri bisa sampai. Kalau pun kembali diserang, saya tinggal tertawa dan tentunya berbahasa Tagalog ria. Mana mereka paham?
Dengan kemunculan Bintang Emon, semangat untuk mengkritik pemerintah dalam cara yang berbeda semakin saya pelajari lebih dalam. Saya seakan mendapat suntikan semangat untuk memaparkan apa yang saya yakini benar. Tentu, saya belajar untuk semakin lihai dalam mengolah kata agar tidak menyerempet ke ranah yang sensitif. Yang bisa membangunkan mereka yang siap menyerang siapa saja yang berseberangan.
Semangat ya Bintang Emon ditunggu karya barunya lagi. Saya mau melihat lagi kebijakan junjungan saya, Yang Mulia Bapak Presiden Rodrigo Duterte.
Ang galling naman Emon. Salamat!
 Eh habis ini saya enggak ditandai kan? Kalau ditandai arisan enggak apa-apa sih. Hehe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H