Hari Pendidikan telah berlangsung sukses. Saya masih begitu terbawa suasana peringatan itu lantaran berbagai kegiatan lomba yang diikuti oleh siswa saya. Mempersiapkan mereka jauh-jauh hari membuat waktu terasa begitu cepat. Namun, itu semua terbayar dengan hasil kerja keras yang diraih oleh beberapa siswa.
Kebetulan, saya juga menjadi juri dalam sebuah lomba siswa teladan untuk memperingati Hari Pendidikan. Ini pengalaman saya seumur hidup. Kapan lagi duduk sebagai dewan juri meski lomba tersebut hanya berada di tingkat gugus.
Pada momen lomba Hari Pendidikan itu, kami para juri sudah siap dengan segala perlengkapan yang dibutuhkan. Semisal soal yang harus dikerjakan oleh para peserta. Tetapi, pengalaman menjadi juri ini justru saya rasakan amat sangat berharga ketika harus memberi mereka pertanyaan seputar pendidikan, pribadi mereka, dan wawasan umum. Berasa mencecar peserta Miss Universe di sesi deep interview.
“Kalau kamu besar nanti, kamu mau jadi apa?”
Pertanyaan itu terceletuk dari mulut saya kepada seorang siswa dari sebuah sekolah.
“Saya mau jadi guru, Pak”.
Saya tersenyum ke arahnya. Dan kemudian, saya mengelaborasi lagi alasan ia berniat menjadi guru di tengah aneka cita-cita yang bisa jadi lebih bergengsi atau mendapatkan banyak limpahan materi.
“Saya ingin berbakti dan mengajar bagi banyak orang”.
Jawaban itu kembali muncul. Iya, jarang sekali anak zaman sekarang yang bercita-cita mendedikasikan hidupnya untuk banyak orang terlebih di bidang pendidikan. Sungguh, sosok anak itu masih terngiang di benak saya. Mulia sekali cita-citamu, Nak.
Tak terasa, kami sudah masuk bulan puasa. Sekolah pun hanya berlangsung selama setengah hari. Dalam masa mengenang juri lomba Hari Pendidikan tersebut, saya kembali merenung. Apa sih yang salah dengan pendidikan kita? Kok setiap hari ada saja rintangan dan halangan serta kritikan dalam sistem yang amat kompleks itu?