Keluarga besar saya dari pihak ibu yang ada di Malang memang memiliki tradisi khusus untuk menjalin silaturahmi dengan kerabat atau sanak saudara. Mereka kerap mengadakan jalan-jalan bersama ke luar kota sembari mengunjungi rumah kerabat yang jarang bertemu.
Salah satunya kami lakukan pada lebaran tahun 2014 lalu. Biasanya, kegiatan ini dilakukan beberapa hari selepas Idulfitri. Namun saat itu, karena keluarga yang akan kami datangi hanya bisa dikunjungi pada awal Idulfitri, maka kami berangkat tepat pada hari-H Idulfitri.
Magelang menjadi tujuan silaturahmi. Lantaran ada lebih dari 30 orang anggota keluarga, maka kami menyewa satu buah bus berkapasitas sedang untuk melakukan perjalanan ini. Apesnya, karena rumah kami berdekatan di gang-gang sempit dan tentu saja bus tidak dapat masuk, maka kami harus rela berjalan kaki ke perempatan jalan besar sekitar 1,5 km dari rumah.
Walhasil, sepanjang jalan kami menggotong berbagai perlengkapan seperti baju, oleh-oleh, dan tetek bengek lainnya. Sepanjang jalan itu pula, kami dilihat oleh banyak pasang mata yang heran akan ke manakah orang-orang ini gerangan. Pada momen yang biasanya digunakan untuk bersilaturahmi di sekitar rumah saja itu.
Untungnya, kami melakukannya setelah acara saling bermaafan dengan tetangga dan berangkat selepas maghrib. Jadi, kewajiban untuk bersilaturahmi kepada tetangga dekat sudah tertunaikan. Tinggal fokus pergi ke Magelang yang harus ditempuh selama kurang lebih 8 jam.
Perjalanan tepat di hari raya Idulfitri sebenarnya sangat lancar. Arus mudik sudah usai dan arus balik belum berlangsung. Hanya beberapa kali saja kami mengalami kemacetan di sekitar Saradan dan Caruban Madiun. Nah yang membuat tidak nyaman adalah sang sopir yang bagi saya dan beberapa anggota keluarga lain mengendarai bus terlalu woles.
Biasanya, semacet apapun, saat subuh perjalanan sudah sampai di masjid besar sekitar Candi Prambanan. Ini selalu saya alami ketika balik ke Jogja dari Malang. Ya antara sebelum subuh hingga jam 5 pagi. Tapi, pada jam tersebut, kami masih di sekitar Sukoharjo. Masuk Kota Solo saja belum.
Lantaran harus salat dan mandi, kami pun berhenti. Dan ini cukup lama hingga sekitar 2 jam. Kami juga belum makan. Akhirnya, baru sekitar jam 8 pagi, kami bisa makan di sebuah restoran dekat gapura perbatasan antara DIY dan Jawa Tengah. Tepatnya, diantara derah Tempel dan Salam. Lagi-lagi, kami harus berhenti cukup lama lagi.
Jadi, ada 3 keluarga jauh dari nenek saya yang tinggal di luar Kota Malang. Ada yang di Surabaya bekerja sebagai tentara AL, ada yang di Magelang ini, dan satu lagi di Dieren, Netherland. Semuanya masih saling berkontak. Kami sudah sering mengunjungi keluarga nenek di Surabaya. Dan tidak mungkin pula kami mencarter pesawat ke Netherland. Untuk itulah, sebagai ajang untuk tetap mempererat silaturahmi, menyewa bus ke Magelang adalah hal yang masih masuk akal.
Di siang itu, kami bercerita banyak mengenai keluarga di Malang dan Magelang. Dua kota yang hampir memiliki singkatan yang serupa. Ada banyak hal yang baru kami tahu terutama seputar pernikahan dan kelahiran keluarga baru. Tentu, nostalgia masa lalu seputar hal-hal apa saja yang dilakukan oleh generasi baby bloomers macam ibu saya dan bude-bude juga layak disimak.
Salah satunya adalah mengapa ada keluarga dari nenek yang sampai berada di Netherland. Ternyata, beliau yang merupakan adik dari nenek saya diadopsi oleh bibi dari nenek saya yang dinikahi mantan tentara KNIL pada masa revolusi fisik. Adopsi itu dilakukan karena sang bibi tersebut tidak memiliki putra. Akhirnya, hingga sekarang pun mereka tinggal di sana. Pernah saat saya SD dulu, beliau yang ada di Netherland tersebut pernah pulang ke Malang. Betapa hebohnya kami menyambutnya karena putra-putrinya hanya bisa berbahasa Belanda.
Selamat Idulfitri. Mohon maaf lahir dan batin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H