Mengawali Ramadan tahun ini memang tak seperti tahun sebelumnya. Pandemi covid-19 membuat banyak orang membatasi kegiatan dengan lingkungan sekitarnya. Termasuk, dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadan.
Biasanya, di dekat rumah saya selalu mengadakan acara pengajian akbar untuk menyambut Ramadan. Acara ini berlangsung pada penghabisan bulan Sya'ban sekaligus membuka rangkaian kegiatan Ramadan di masjid.Â
Pengurus masjid pun akan memberikan agenda selama satu bulan mengenai kegiatan yang akan dilakukan. Semisal tadarus bersama, buka puasa bersama saat 17 Ramadan, salat malam penghabisan Ramadan, hingga tentunya penyaluran zakat sekaligus salat id. Namun, segala kegiatan tersebut kini ada yang ditiadakan atau hanya dibatasi.
Selain berkurangnya kegiatan yang berada di masjid, tradisi megengan atau tradisi memberikan kue apem sebelum puasa pun mendadak tak banyak dilakukan.Â
Alasannya, banyak tetangga yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Para tetangga tersebut sedang dalam keadaan sulit sehingga tak bisa lagi mengantarkan kue yang menjadi tradisi menyambut Ramadan ini.
Biasanya, pada malam sebelum Ramadan, berbagai hantaran kue sudah memenuhi meja. Namun pada tahun ini, meski masih ada beberapa tetangga yang masih mengantarkan kue, jumlahnya bisa dihitung jari. Tradisi megengan yang biasanya meriah dengan lalu lintas warga yang saling membawa baki dari satu rumah ke rumah lainnya pun tidak begitu kentara.
Meski demikian, saya masih bersyukur bisa bertemu dengan Ramadan tahun ini. Meriah atau tidaknya tradisi megengan bukan menjadi patokan bahwa Ramadan tidak bisa disambut dengan suka cita.Â
Justru, dengan kondisi bangsa yang tengah sulit ini, sudah sepantasnya kita bersuka cita menyambut bulan suci. Tidak mudah memang tetapi jika kita bisa melakukannya, kemenangan di hari yang fitri nanti akan kita raih. Namun, esensi Ramadan yang sebenarnya bukan hanya sekadar tradisi melainkan bisa lebih dimaknai lebih dalam lagi.
Nyatanya, dengan tidak banyaknya tetangga yang melakukan megengan malah menjadi momen untuk berbagi. Kata ibu saya, ini waktu yang tepat untuk bisa berbagi dengan mereka. Entah berbagi makanan atau hal lainnya.
Ketika permulaan tiba, justru para tetangga saling berkirim makanan apa yang mereka masak untuk buka puasa. Tidak perlu banyak, yang penting sedikit makanan tersebut bisa mengobati rasa kesusahan di momen sulit ini. Entah es dawet, gorengan, buah, atau bentuk makanan lainnya.
Uniknya, meski beberapa tetangga yang tidak melakukan megengan pada tahun ini berada dalam kondisi sulit, semangat berbagi mereka masih patut diacungi jempol.