“Hilal telah tampak. Aku sudah menunggu kemunculannya sedari kemarin,” Sena begitu sumringah berlari ke serambi depan rumahnya.
Ayahnya masih sibuk meraut obor yang sedianya digunakan untuk malam takbiran nanti. Mengamati sejenak putranya yang duduk di bangku kelas 2 SD itu, ia mengernyitkan kepalanya.
“Darimana kau tahu hilal sudah tampak?”
Sena menunjukkan sepuluh jarinya yang kecil,”Ini sudah hari kedua puluh sembilan, Yah. Ia akan datang di hari dua puluh sembilan atau tiga puluh. Ustad Fatih yang bilang begitu”.
Arman terpaku melihat putranya. Iya, ini sudah mendekati Idulfitri. Sudah saatnya Asih memberi kabar kepulangannya.
“Kita tunggu berita ya, Nak,” ujarnya lirih.
Sena masih berlari kecil menuju kamar mandi. Ia sudah bersiap untuk mandi dan berganti pakaian. Tak lama lagi, ia akan berjumpa dengan sang ibunda yang telah lama merantau di negeri orang. Baginya, kenampakan hilal adalah pertanda bahwa ia akan berjumpa dengan sosok yang dikangeninya.
“Ayah, kalau hilal tak juga tampak. Apa ia akan mundur sehari lagi?”
Ayahnya hanya tersenyum tipis, "Mandilah. Segeralah ke surau".
Sena masih saja bertanya. Ia benar-benar memastikan bahwa kedatangan ibunya memang pada hari itu. Ia teringat omongan Fajar tempo hari bahwa bisa saja hilal tak tampak. Kata kakaknya, hilal bersembunyi di balik awan.
Sena masih ragu. Tak ada awan yang menaungi langit sepanjang hari itu. Jadi, untuk apa hilal bersembunyi? Apakah ia takut pada orang-orang yang menantikan kehadirannya?
Surau kecil di balik bukit itu ramai oleh anak-anak. Mereka mengkhatamkan juz amma hingga menjelang maghrib tiba. Suara kecil mereka menjadi nada yang menggetarkan desa itu di penghujung Ramadan.
Ustad Fatih lalu memberi sedikit pengumuman singkat usai mereka mengaji.
“Anak-anakku. Hari ini adalah penghabisan Ramadan. Kita tunggu pengumuman dari pemerintah akan kepastian malam Idulfitri. Nanti jika sudah ada pengumuman, selepas berbuka kalian siap dengan obor dan kentungan, ya!”
Pengumuman itu segera disambut meriah oleh anak-anak. Mereka bertepuk tangan dan saling berangkulan. Sudah sebulan lamanya mereka menahan haus dan lapar. Tak terkecuali bagi Sena yang pada tahun ini kali kedua ia bisa berpuasa penuh.
Sena pun pulang saat azan hampir berkumandang. Guru mengajinya sengaja meminta anak-anak pulang untuk berbuka di rumah dan menyiapkan segala hal jika memang malam itu adalah malam takbiran.
Saat tiba di beranda rumahnya, ia tak mendapati ayahnya yang tadi sedang sibuk membuat obor untuknya. Ia hanya melihat obor itu sudah jadi tergeletak di atas sebuah dipan yang sering digunakan ayahnya bersantai di siang hari sembari ditemani semilir angin.
Ia ambil obor itu dan mencari keberadaan ayahnya di dalam rumah.
Tak ada siapapun. Ia hanya mendapati sebungkus nasi rendang yang tersaji di atas meja makan lengkap dengan minuman teh hangat. Di dekatnya, sepucuk kertas yang ia yakini dari ayahnya tergeletak. Sena pun membaca perlahan.
“Makanlah, Nak. Aku sedang menjemput ibumu”.
Sena melonjak girang. Ia membayangkan ibunya sebentar lagi pulang. Ia pun menunggu suara azan berkumandang di meja makan. Dadanya serasa berbunga-bunga. Sudah ia bayangkan berapa banyak baju dan mainan yang akan ia dapat dari ibunya. Apalagi, barang-barang itu semuanya dibeli dari negeri Singa yang tak semua temannya memilikinya.
Sena makan amat lahap saat berbuka puasa itu. Nasi rendang daging yang dibelikan ayahnya benar-benar enak. Biasanya, ia hanya makan tahu dan tempe atau ikan asin. Barangkali, ayahnya juga memberinya hadiah karena ia sudah berpuasa selama sebulan penuh.
Setelah salat magrib dan makan, Sena melihat televisi. Ia ingin memastikan hilal telah tampak. Ia ingin memastikan sebentar lagi seluruh kegembiraan itu akan datang menemuinya. Namun, setelah beberapa lama menanti tayangan televisi, ia harus menelan kekecewaan. Hilal rupanya belum tampak.
“Hasil pengamatan di Tanjuk Kodok Lamongan memastikan hilal belum tampak. Pengamatan sudah dilakukan selama beberapa jam,” begitu ulasan reporter yang ia lihat dari layar kaca.
Sena mulai bimbang. Jika hilal tak tampak berarti di tempat mengajinya tidak ada takbiran. Ah tak mengapa. Ia akan berada di rumah saja sembari menunggu kedatangan ayah ibunya. Ia ingin menyambut ibunya dan bercerita bahwa ia sudah bisa berpuasa penuh lagi tahun ini.
Sejam dua jam kedatangan mereka tak tampak tanda-tandanya. Sena mulai mengantuk dan akhirnya tertidur pulas. Ia baru terbangun sekitar pukul 9 malam dan kedua orang tuanya belum juga tiba. Sena memilih mengunci pintu agar ia bisa tidur selepas menjalankan salat isya.
Sena masih tak bisa tidur dengan nyenyak. Beberapa kali ia bermimpi bertemu ibunya. Dalam mimpi itu, sang ibu mendengarkan segala ceritanya. Ibunya hanya tersenyum sembari mengusap rambutnya.
Sena akhirnya bangun saat azan subuh hampir berkumandang. Orang tuanya tak jua datang.
Ia pun mencoba tetap tenang dan makan sahur untuk terakhir kalinya dari sisa nasi bungkus yang ia makan untuk berbuka puasa. Hari ini hilal pasti tampak. Tetapi, ia sudah tak memperdulikannya. Ia hanya ingin ayah ibunya segera pulang untuk berlebaran bersama.
Di sisa hari itu, Sena hanya duduk termenung sambil memandangi obor yang sedianya ia gunakan untuk takbir bersama. Ajakan rekan-rekannya untuk memainkan kentungan agar bisa bertakbir dengan meriah pun ia tolak.
Sena masih bingung dan bertanya di manakah ayahnya gerangan. Ia sudah tak peduli lagi dengan kedatangan ibunya yang penting ia tak berlebaran sendirian.
Hari berlalu dengan cepat. Laporan pengamatan di televisi menyatakan hilal sudah tampak. Tapi Sena sudah semakin tak peduli. Ia bingung apa yang harus ia perbuat. Ia pun pergi ke tetangganya yang memberinya hantaran makanan malam lebaran untuk mencari tahu keberadaan ayahnya. Mereka pun juga tak tahu keberadaan ayah Sena. Yang mereka tahu, sang ayah hanya naik sepeda dengan baju rapi saat Sena mengaji.
Sena benar-benar sedih dan semakin bingung. Malam takbiran itu ia lalui dengan duduk termenung di beranda rumahnya. Dengan duduk di atas dipan, ia melihat teman-temannya bersenda gurau sembari bertakbir. Harusnya ia gembira dan sudah sepantasnya ia merasakan suka cita.
Tak berapa lama, dua orang yang tak asing baginya datang ke rumahnya. Sena segera mengenali mereka.
“Paman Aris dan Adin!” Sena kaget. Tak biasanya paman dan sepupunya bertandang ke rumahnya.
Sena segera terlonjak. Ia pun menyalami keduanya dan mengajak mereka masuk. Tapi, Paman Aris meminta Sena untuk segera ikut bersamanya malam itu juga. Sena masih bingung. Paman Aris hanya berkata bahwa ia akan bertemu dengan ayah ibunya. Tentu, Sena sangat gembira.
"Ibu bawa apa saja Paman? Apa ia juga membawa mainan singa?" Sena terus bertanya pada pamannya.
Sang paman hanya menggenggam tangan Sena, "Entah. Nanti kau akan tahu sendiri".
Mereka pun akhirnya pergi dengan motor ke kota tetangga tempat tinggal Paman Aris. Tetapi, mereka berhenti di sebuah bangunan yang terasa asing bagi Sena. Bangunan itu tampak sepi karena tidak ada aktivitas takbiran di sana.
Pamannya meminta menunggunya di sebuah ruangan kecil. Di ruangan itu, tampak dua buah tas besar. Saat mendekatinya, ia meyakini tas itu milik ibunya dari nama yang tertulis di sana.
Sena semakin gembira. Ia membukanya dan ada banyak sekali mainan serta pakaian kecil yang pasti miliknya.
Adin yang melihat Sena ingin mengatakan sesuatu. Tetapi, anak remaja tanggung itu membatalkannya. Ia membiarkan Sena mengeluarkan berbagai mainan di dalam tas itu. Adik sepupunya itu makin gembira saat ada mainan kereta api dan mobil-mobilan yang begitu apik tersimpan di dalam tas itu.
Tak lama, Paman Aris pun datang ditemani dengan seorang wanita. Ia meminta Sena untuk mendekat ke arahnya.
"Ada apa paman?"
Sang paman hanya berkata lirih sambil menunjuk ke arah dua tandu ambulans, "Sena, kemarilah. Itu ayah dan ibumu".
Dan betapa kagetnya, Sena melihat dua orang yang terbujur kaku di sana. Mulanya, ia tak mengerti apa yang telah terjadi. Setelah sang paman menceritakan segalanya, barulah ia sadar. Inilah alasan ayah dan ibunya tak segera pulang. Keduanya mengalami kecelakaan saat melakukan perjalanan malam hari dari pelabuhan menuju rumah Sena. Tepat beberapa kilometer dari rumah Paman Aris.
Sena pun menangis keras tepat di malam hilal telah tampak itu. Malam yang ingin selalu ia kubur dan tak ingin ia nantikan lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H