Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pernah Melakukan Karantina Kota pada Masa Kolonial, Malang Harus Belajar Saat Pengajuan PSBB-nya Ditolak

21 April 2020   09:09 Diperbarui: 21 April 2020   09:22 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jembatan Buk Gludhuk dan kawasan Kampung Warna-Warni Jodipan yang sepi. - Dokpri

Pengajuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Kota Malang ditolak oleh Kementian Kesehatan. Kota Malang belum dianggap perlu untuk melakukan PSBB lantaran tidak memenuhi  Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Malang pun tidak bisa melakukan berbagai upaya dalam mencegah penyakit ini dengan cara PSBB seperti yang akan dilakukan tetangganya Surabaya.

Penolakan ini memang wajar. Kota Malang dianggap tergesa-gesa dalam menyampaikan draft usulan PSBB kepada Pemerintah Pusat dengan tidak mengindahkan dua daerah lainnya yang masih dalam satu himpunan Malang Raya, yakni Kabupaten Malang dan Kota Batu. 

Jumlah kasus covid-19 yang cukup rendah di Kota Malang bisa menjadi salah satu alasan penolakan ini karena salah satu parameter diberlakukannya PSBB adalah adanya kenaikan jumlah penderita covid-19 dalam jumlah banyak dan waktu yang singkat. Dari 8 kasus positif covid-19, sebanyak 7 diantaranya sudah dinyatakan sembuh hingga Selasa (21/04/2020) ini. Artinya, hanya ada 1 pasien positif yang menjalani perawatan.

Namun, jumlah kasus positif covid-19 yang rendah ini bukan jaminan Malang akan aman saja. Ini terbukti dari jumlah pasien dalam pengawasan di kota malah meningkat drastis dalam beberapa hari terakhir dengan lima kematian. Indikasi ini tak lantas pula Malang menjadikan harus tergesa mengajukan PSBB tanpa memperhatikan aspek lainnya. Ada banyak hal yang bisa dilakukan Pemkot Malang agar bisa mengendalikan penyakit ini secara efektif dan efisien. Beberapa diantaranya bisa berkaca dari sejarah bagaimana kota ini menerapkan karantina wilayah akibat wabah pes pada masa kolonial.

Pelajaran pertama adalah mengenai usaha sosialisasi yang kurang efektif. Pada wabah pes yang bermula tahun 1911, banyak orang yang masih belum bisa membaca pengumuman dari pemerintah akan bahaya dan ajakan untuk mematuhi aturan isolasi wilayah yang dilakukan. Beberapa kaum terpelajar bahkan harus membacakan keras-keras pengumuman mengenai wabah pes agar masyarakat Malang yang sudah mulai bertumbangan saat itu sadar untuk menjaga kesehatan dan tidak memasuki wilayah tertentu yang telah terjangkit pes.

Pemerintah kolonial bahkan telah mengumumkan desa-desa mana yang telah terjangkit pes. Pengumuman ini cukup gamblang agar wilayah tersebut bisa secara tegas melakukan karantina wilayah sehingga wabah tidak menyebar dan proses penyembuhan pasien yang melakukan isolasi atau dirawat secara mandiri bisa berhasil.

Sayang seribu sayang, upaya sosialisasi ini belumlah efektif saat pandemi covid-19. Imbauan mengenai pembatasan fisik dan sosial memang setiap hari diunggah akun Instagram Pemerintah Kota Malang. Namun, informasi mengenai daerah mana saja yang sudah benar-benar merah tidak tertera. 

Hanya informasi singkat mengenai jumlah PDP, ODP, ODR, dan pasien positif yang dibagikan. Masyarakat pun hanya mendapat jumlah mentah. Banyak diantara mereka yang hanya terpacu pada jumlah pasien yang sembuh sehingga mengentengkan akan bahaya penyakit ini. Jalanan pun kembali ramai.

Pelajaran kedua, bagaimana sosialisasi kepada mereka yang baru datang dari luar kota. Beberapa hari yang lalu saya mencak-mencak saat ayah saya bertemu saudara yang baru datang dari Kediri. Ia tanpa melapor ke petugas kesehatan walau tidak menunjukkan risiko. Ia tidak tahu ke mana harus melapor dan bagaimana dampak dan akibat jika tidak melapor. Dengan sedikit paksaan, akhirnya ia pun mau melapor ke puskesmas dan menjalani karantina mandiri selama 14 hari.

Kejadian ini juga tak urung mengingatkan kita pada kebijakan keras Burgerlijk Geneeskundige Dienst (BGD). Dinas pembuat kebijakan isolasi ini tak segan memberikan sanksi tegas dan keras bagi siapa saja yang masuk atau keluar Kota Malang seenaknya setelah isolasi total pada 1912 dilakukan. Walau hal ini tak bisa dilakukan sekarang, sosialiasi dan peringatan terhadap para pendatang juga harus dilakukan.

Apalagi, masih banyak warga Malang yang berencana akan masuk ke Malang bingung bagaiamana dan apa yang harus mereka lakukan. Mereka sebenarnya juga ada yang sadar untuk melakukan isolasi mandiri. Tapi di mana dan bagaimana caranya, Pemkot Malang belum memberikan sosialisasi yang jelas. Dari FP Komunitas lokal, masih banyak yang bertanya akan hal ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun