Beberapa hari yang lalu, Pemerintah Kota Malang telah memutuskan akan memberikan bantuan kepada warga yang terdampak wabah corona.Â
Dari sekitar 870 ribu penduduk Kota Malang, sekitar 17 ribu atau 1,95% warga akan mendapat bantuan ini. Bantuan yang hanya akan dilakukan hingga bulan Mei tersebut akan disalurkan melalui rekening bank yang telah ditunjuk.
Dari informasi yang dihimpun, angka 17 ribu tersebut merupakan angka yang terdata langsung oleh Disdikbud, Disporapar, Disperindagkop, dan Dinsos Kota Malang.Â
Beberapa di antara kategori warga yang mendapat bantuan tersebut adalah Pedagang Kaki Lima (PKL), penyandang disabilitas, dan penerima program keluarga harapan (PKH).
Mereka adalah warga yang terdampak langsung pendapatannya akibat wabah ini. Semisal, para pedagang kaki lima yang dilarang berjualan semenjak adanya larangan berkumpul di tempat umum.Â
Belum lagi, liburnya anak sekolah dan penghentian acara yang mengumpulkan orang banyak seperti Car Free Day adalah salah satunya. Selama masa tanggap darurat ini, pendapatan mereka jelas menurun drastis.
Langkah yang diambil oleh Pemkot Malang ini memang patut diapresiasi. Terlebih, pendataan mengenai para PKL dan PKH yang ada di Kota Malang hampir selalu tervalidasi.Â
Para PKL misalnya yang beberapa di antaranya telah tergabung dalam persatuan pedagang pasar minggu. Ini tentu akan memudahkan pemerintah kota untuk menyalurkan bantuan yang lebih tepat sasaran. Sementara, Dinas Sosial yang yang memiliki data mengenai PKH akan selalu memperbarui data tersebut.
Meski demikian, ada beberapa kelompok masyarakat yang bisa saja belum terdata dalam penerimaan dana tersebut. Beberapa di antaranya adalah kaum gelandangan dan pengemis yang sering beroperasi di Kota Malang.Â
Hingga wabah corona menerjang Kota Malang dan adanya kebijakan pembatasan berkumpul, masih ada saja gelandangan yang ada di jalanan.
Memang, Pemkot Malang telah memasang tali rafia pada bangku taman kota yang sering digunakan untuk mereka berkumpul dan tiduran. Pemasangan ini membuat taman-taman sudah menjadi sepi dan tak ada orang yang memghampiri. Namun, di sudut kota yang tidak terjangkau oleh banyak orang, tetap saja ada gelandangan yang hadir.
Yang menjadi kesulitan utama adalah mereka banyak berasal dari luar Kota Malang. Masalah ini sebenarnya sudah ada sejak zaman kolonial. Mereka memanfaatkan los-los pasar, stasiun, dan makan sebagai tempat tidur mereka. Walau seringkali ditertibkan dan dipulangkan ke daerah asal, tetap saja mereka kembali lagi ke Kota Malang.
Walaupun dengan adanya wabah corona yang menjangkiti Malang membuat kota ini menjadi sepi dan lumpuh sebagian, tetap saja harapan untuk mendapatkan makanan di kota ini masih ada.Â
Tentu, dengan pembatasan keberadaan warung PKL ini, mereka akan juga kesulitan mendapatkan makanan dari sisa-sisa warung dan rumah makan yang selama ini menjadi harapan mereka.
Masalah gelandangan dan pengemis ini merupakan salah satu masalah klasik dan semakin membuat runyam bagi pemerintah daerah. Tak hanya di Kota Malang saja.Â
Jika pemda memberikan bantuan kepada mereka tentu anggaran yang dimiliki tidak akan cukup. Jika dikembalikan paksa ke daerah asal, dengan kondisi yang kurang menguntungkan seperti sekarang ini rasanya juga perlu pertimbangan.Â
Terlebih, kini status Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Orang Dengan Risiko (ODR) disandang bagi siapa saja yang baru berpindah kota. Status ini pun juga menambah daftar dan beban kerja tenaga medis yang kini mulai kewalahan akibat wabah corona ini.
Jadi, yang bisa dilakukan adalah upaya berkesinambungan dan kerja sama efektif antara satu pemda dengan pemda lain dalam menangani masalah ini.Â
Entah menampung mereka di suatu tempat khusus agar tidak banyak berkeliaran di jalan raya. Dengan kehidupan yang tidak layak dan sanitasi yang buruk, tentu potensi penularan penyakit covid-19 akan semakin besar. Saat mereka kontak dengan warga biasa dengan jarak yang cukup besar pun akan semakin terbuka.
Beberapa negara dengan anggaran yang cukup menyulap motel yang tidak digunakan sementara waktu untuk menampung mereka. Langkah seperti ini diambil oleh Amerika Serikat. Pemerintah Prancis bahkan menyulap hotel untuk menampung mereka selama wabah berlangsung.
Jika hal ini dilakukan di Indonesia, jelas tidak mungkin karena keterbatasan biaya. Yang perlu dilakukan adalah menampung mereka di bangunan yang masih layak semisal barak atau tempat lain yang sekiranya memiliki faslitas sanitasi yang memadai. Jikalau mereka dipulangkan ke daerah asal, maka pemda asal juga wajib menampung mereka dan mengobservasi mereka. Tidak dibiarkan dan dipulangkan begitu saja.
Atau jika tidak, selama wabah ini mereka bisa diberdayakan untuk membuat peralatan yang mendukung kesehatan semisal masker dari kain.Â
Selain mengurangi kemungkinan mereka berada di jalan, dengan kegiatan positif ini bisa jadi momen untuk menyetok bahan tersebut yang semakin langka.Â
Tak hanya itu, kegiatan ini juga bisa menjadi salah satu momen untuk mengubah mental mereka agar bisa lebih bisa berkarya di kemudian hari saat wabah corona hilang. Mumpung musim corona dan adanya larangan berkumpul di jalan raya, maka inilah saatnya.
Usaha ini harus dilakukan cukup ekstra oleh pihak terkait dan tidak bisa berdiri sendiri. Pihak Dinas Sosial juga tak bisa melakukannya usaha sendiri.Â
Perlu ada kerja sama menyeluruh dari segenap elemen masyarakat agar para pengemis dan gelandangan yang benar tidak punya masih terlindungi saat wabah corona melanda negeri. Karena, bagaimanapun mereka adalah warga negara Indoneisa yang memiliki hak yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H