Solo yang masih bersaudara dengan Jogja tentu memiliki kekayaan budaya yang hampir serupa. Kuliner adalah salah satu diantaranya. Bukan saja surabi dan nasi liwetnya, Solo juga memiliki khazanah angkringan yang begitu menggugah selera.
Uniknya, beberapa waktu terakhir, banyak angkringan yang sudah tak lagi menempati pinggir jalan dan berstatus pedagang kaki lima. Beberapa diantaranya sudah bertransformasi menjadi warung makan yang cukup luas. Dan ada pula yang sudah mengalami pergeseran wujud menjadi sebuah resto yang membuat daya tariknya semakin paripurna.
Meski tentu, ada beberapa pertanyaan yang timbul seputar harga yang ditawarkan. Berada di sebuah bangunan bagus tentu ada harga lebih dibandingkan di pinggir jalan. Angkringan yang semula terasosiasi dengan makanan yang murah pun berubah menjadi makanan kelas atas. Apakah itu benar adanya?
Ternyata tidak juga. Walau awalnya saya menemukan konsep angkringan resto dengan harga makanan yang cukup mahal, tetapi akhirnya saya mendapatkan sebuah angkringan resto yang harganya tak jauh dari angkringan kaki lima. Naluri saya pun mengatakan bahwa dompet saya dan uang di dalamnya tak akan banyak terkuras habis demi nafsu makan saya yang kini mulai menggila.
Wedangan Omah Solo namanya. Saya langsung tertarik datang ke sana. Selain telah melihat ulasan positif di Google map, letaknya kebetulan dekat dengan penginapan saya di kawasan Serengan, Kota Surakarta. Angkringan resto ini tepatnya berada di Jalan Dr. Supomo, Mangkubumen, Banjarsari, Surakarta. Hanya kurang dari 5 menit saya sudah berada di lokasi santapan ini.
Apa yang diulas di Google map ternyata benar. Menempati sebuah bangunan tua dengan taman yang cukup luas, saya sangat takjub pada awalnya. Baru kali ini saya memasuki sebuah tempat makan yang serasa kafe tapi menjual nasi kucing dan kawan-kawannya.
Tanpa banyak kata, saya langsung mengajak kawan saya untuk segera memesan apa saja yang ada di sana. Ternyata, oleh pelayan resto, saya diarahkan untuk memesan minuman terlebih dahulu. Ada banyak minuman yang tersaji di sini. STMJ dan beberapa racikan kopi adalah favoritnya. Sayang, penyakit GERD yang menyerang membuat saya hanya bisa memesan teh hangat.
Lantas, saya memilih beberapa macam nasi kucing yang dijual di sini. Wah, melihat bungkusan nasi yang tersaji di depan saya membuat saya bingung. Ada nasi oseng tempe yang menjadi menu wajib, nasi sawi asin, nasi sambael teri, nasi sambal suwir ayam, nasi ati, dan beberapa varian lain. Kalau saja perut saya normal dan menampung banyak, maka saya akan mengambil semuanya. Saya pun memutuskan untuk membeli nasi oseng tempe yang juga sering saya beli di Jogja.