Seiring bergulirnya waktu, makin banyak anak-anak Indonesia yang tidak mengenal jajanan tradisional. Terlebih, dengan penetrasi gawai yang begitu masif, anak-anak Indonesia seakan menggandrungi makanan yang kekinian, keren, mahal, dan tentunya dibalut dengan persepsi yang menggairahkan.
Gempuran pedagang makanan yang berjaja di luar sekolah membuat mereka semakin larut dalam kenikmatan semu. Â Kenikmatan menumpuk penyakit sejak dini. Bahan pengawet, pemanis, dan penyedap buatan yang mereka konsumsi bisa menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja dengan timbulnya berbagai macam penyakit.
Preferensi makanan kekinian yang dipilih oleh mereka sebenarnya terjadi akibat kurangnya upaya untuk mengenalkan panganan sehat. Terutama, oleh orang tua di rumah dan guru mereka di sekolah. Dengan alasan kepraktisan, banyak dari orang tua atau pun guru membiarkan mereka untuk memakan makanan yang sebenarnya tidak boleh dikonsumsi setiap hari.
Padahal, upaya untuk mengenalkan panganan yang sehat tidaklah terlalu sulit. Jika mereka dipaksa untuk memakan makanan yang sehat, sebetulnya juga tak terlalu baik. Kesadaran tinggi untuk mulai mengganti makanan, terutama jajanan adalah kunci. Ada kesadaran tentu ada keinginan kuat untuk melakukannya.
Sebuah inisiasi yang cukup baik dilakukan oleh sebuah sekolah di Kota Malang. Berada di Kecamatan Lowokwaru, sekolah bernama SDN Tunjungsekar I ini hampir tiap bulan mengadakan pasar pangan lokal bernutrisi. Bukan isapan jempol, sekolah yang memiliki julukan SD Brugge tersebut memang menjadi salah satu sekolah percontohan di Kota Malang dalam hal upaya promosi pangan lokal.
Menyabet status Sekolah Adiwiyata Tingkat Nasional, SD Brugge telah lama meninggalkan panganan yang kurang sehat bagi peserta didiknya. Kantin sekolah pun secara bertahap mulai diisi dengan berbagai panganan tradisional seperti nagasari, kue lumpur, dan lain sebagainya meski masih ada beberapa makanan olahan modern. Sebagai upaya peningkatan promosi akan kesadaran untuk mengonsumsi pangan lokal bernutrisi, acara pasar pangan lokal pun digelar.
Melalui kegiatan pasar ini, mereka tidak hanya membayangkan bagaimana bahan pangan bisa diolah sedemikian rupa sehingga terlihat lebih menarik, tetapi juga mempraktikkannya secara langsung. Dengan adanya pasar ini pula, para siswa juga bisa belajar berbagai macam profesi yang berhubungan dengan pengolahan dan pemasaran bahan pangan lokal.
Dengan pemahaman ini, mereka juga belajar bagaimana kaitan antara proses produksi, distribusi, dan konsumsi pangan lokal yang bernutrisi. Pembelajaran ini dilakukan dengan membandingkan bagaimana mereka mendapatkan pangan lokal bernutrisi tersebut, semisal ada yang membeli di pasar, melalui aplikasi ojek daring, dan ada yang membuat sendiri.