Lho judul saya kok jadi tendensius begini.
Maklum, tulisan ini muncul selepas saya ikut ambil bagian dalam gerakan dukungan terhadap korban perundungan di Malang kemarin. Saking semangatnya saya menyebar artikel, foto, dan petisi dukungan terhadap sang korban, ada beberapa orang yang entah mendapat bisikan apa menyebut saya mencari panggung. Lah?
Saya bingung. Saya sedang tidak sedang mengikuti ajang Miss Universe atau pun dalam masa kampanye pemilihan walikota. Saya juga tidak sedang mengikuti kegiatan senbatsu (pemilu raya) JKT48 yang memilih member untuk single baru. Saya tidak kepikiran untuk menjadi center JKT48. Saya kan laki-laki.
Baik, kembali ke topik. Saya jadi bingung dengan apa yang dikatakan beberapa orang dengan definisi cari panggung. Wong panggungnya saja sudah penuh untuk hajatan banyak orang. Sekarang lagi musim nikahan kan? Jadi, saya sih woles saja.
Namun, saya juga cukup sebal dengan orang yang memang berusaha semaksimal mungkin untuk mencari panggung. Entah mencari nama, mencari popularitas, atau bahkan jika pada akhirnya mencari keuntungan lewat aksi panggungnya. Kalau semuanya dilakukan secara wajar sih menurut saya tak masalah. Ikut ajang kecantikan atau audisi bernyanyi malah sangat membanggakan. Bagaimana kalau dilakukan dengan cara lain?
Semisal, mendompleng sebuah kegiatan yang awalnya bertujuan baik tetapi ada udang di balik bantal. Kampanye pileg tahun kemarin adalah beberapa diantaranya. Saya sampai hampir di-black list oleh warga kampung saya karena suara saya yang vokal mengkritisi kedatangan para caleg. Terlebih jika mereka datang dengan banyak sesi fotografi tapi minim program kerja nyata. Tanpa teding aling-aling, saya akan langsung meminta waktu sebentar untuk menanyakan program kerja mereka dan diakhiri dengan kalimat, mau cari panggung di sini?
Saking seringnya saya menemukan seperti ini, saya malah mengerti beberapa ciri khas yang melekat. Salah satu diantaranya adalah mereka akan mencari dan mendekati orang yang dirasa sudah memiliki nama. Sudah memiliki pengaruh kuat di bidang tertentu. Dengan memanfaatkan kedekatan ini, maka otomatis akn ada efek domino yang menyebabkan si cari panggung akan juga kecipratan nama.
"Saya kan sudah kenal dekat si X yang jago begini. Nama saya kan jadi terkerek".
Sering kan melihat seperti itu? Hmmm... sebenarnya wajar. Namun, jika si cari panggung mulai berulah dengan memanfaatkan nama besar orang yang didekatinya, ini harus diwaspadai. Apalagi jika kedekatan itu berkaitan dengan uang atau hal lain yang sebenarnya digunakan untuk kepentingan pribadi. Misalnya nih mengadakan suatu amal dengan mencatut nama seorang yang sudah punya nama tapi uang amal itu tak digunakan. Atau, yang terjadi beberapa waktu terkahir sebuah arisan tipu-tipu yang memanfaatkan nama artis. Kan semua berawal dari orang yang mencari panggung?
Kedua, tentu harus ada momen yang menyebabkan orang itu bisa cari panggung. Makanya, saat ada momen kasus perundungan ini, ada yang bilang saya memanfaatkan momen. Lah, kalau mau, saya malah gunakan ini untuk meningkatkan follower saya di Instagram. Mengingat, ternyata postingan saya di Instagram ternyata ditangkap oleh media nasional. Pantas saja banyak akun yang memberi likes di postingan itu. Apakah saya mendapat keuntungan? Yang ada follower saya tidak naik. Malah berkurang.
Nah momen ini bisa dijadikan orang yang ingin mencari panggung. Entah momen hari kasih sayang, imlek, atau hari besar lain. Atau juga momen bertemu dengan banyak orang. Pada momen seperti ini, orang yang cari panggung akan mulai tebar pesona. Saya kadang melipir dengan orang yang mulai ada tanda mencari panggung. Saya enggak kuat dengan rayuan gombalnya. Dan juga, omongannya yang too much of himself. Lebih baik saya cari orang yang sefrekuensi saja.
Uniknya, ciri yang tidak bisa lepas dari orang yang mencari panggung adalah menutupi kekurangannya. Kalau kekurangan sih setiap orang pasti punya dan bagi saya wajar. Namun tidak dengan kebohongan. Dengan dalih memperkaya diri sendiri atau hal lain, ia akan menyembunyikan fakta yang ada. entah dengan cara apa pun yang penting namanya tetap bersinar. Dan anehnya, kok ya banyak orang yang percaya. Mau bukti?
Tidak usah susah-susah. Kerajaan halu yang viral kemarin adalh salah satunya. Bahkan menurut beberapa psikolog, keinginan untuk mendapatkan nama dan kejayaan yang telah hilang dari beberapa raja dan ratu halu adalah salah satu penyebabnya. Mereka ingin pujian, elu-eluan, dan tentunya nama yang bersianar agar keinginan mereka terpenuhi.
Satu hal lagi, kok saya melihat orang yang mencari panggung ini tidak bisa berfokus pada pekerjaan yang mereka lakukan. Mereka akan mencari obyek lain, entah proyek atau hal lain agar kelihatannya ia mengerjakan banyak hal. Saya kan sudah pernah mengerjakan ini, menulis ini itu, dan menjadi ini itu. Tapi hasilnya?
Kok saya ragu ya. Sudah mendengar kasus penipuan WO yang terjadi beberapa waktu belakangan ini? Saat saya melihat wawancara MC yang diminta oleh WO tersebut, tanda ini semakin jelas. WO tersebut mencoba melakukan banyak hal, entah bagaimana caranya agar terlihat "sukses". Namun nyatanya? Dari puluhan event pernikahan yang digelar oleh WO tersebut, hampir semuanya berakhir dengan kegagalan.
Makanya, ketika saya bertemu orang baru dengan banyak omongan dan rencana yang disusun, saya jadi bertanya balik. Ini benar mau dilakukan? Ini benar dikerjakan dengan sungguh-sunggu? Atau hanya digunakan untuk mencari panggung saja? Kalau begini, lebih baik cari orang lain saja. Saya cari yang pasti-pasti saja.
Walau sederhana, saya lebih senang dengan proyek yang minimalis tapi memiliki perencanaan matang dan komitmen keras untuk menyelesaikannya. Bukan karena banyak proyek atau kegiatan tetapi hasilnya mengecewakan. Toh hasil pekerjaan yang baik akan membawa nama baik juga kan. Dengan sendirinya nama kita akan terkerek tanpa banyak usaha aneh dengan mencari panggung. Hasil tidak akan membohongi usaha. Begitu kata mbak-mbak member JKT48.
Terkahir, orang yang mencari panggung tidak sungkan lho untuk menjegal orang lain. Terlebih jika orang yang dijegal tahu bagaimana riwayatnya. Kadang, saat saya bertemu orang baru dan ternyata sama-sama pernah kenal dengan orang yang cari panggung, kami sering berucap, "Oh yang itu kan? Iya iya aku tahu".
Tidak hanya menjegal orang, mereka kerap juga memanfaatkan orang lain demi misinya tercapai. Teman saya pernah misuh-misuh ketika ada orang yang memintanya mengerjakan sebuah penelitian tindakan kelas untuk perlombaan. Selepas perlombaan selesai dan yang meminta bantuan menang, eh jangankan diberi segepok salak, bilang terima kasih saja tidak. Kan malas. Bukan antara ikhlas dan tidak, tapi penghargaannya itu lho. Kalau kata orang jawa, enggak nguwongno.
Lantas apakah mereka harus dimusuhi?
Oh jangan. Tidak baik memusuhi orang. Kalau saya sih tetap menjalin hubungan dengan mereka. Namun, hubungan yang berjarak. Semisal tidak memberi kesanggupan ketika mereka ingin melakukan sebuah pekerjaan dengan kita. Kalau pun mau bekerja sama dengan mereka, saya sering meminta job desk yang jelas dan target yang dicapai. Kalau sudah ada tanda-tanda memble di awal atau pertengahan, lebih baik saya mundur perlahan.
Untuk itu, dengan semakin banyaknya orang yang mencari panggung, rasanya kita harus semakin awas. Bukan berprasangka buruk tapi hati-hati. Bukankah banyak kasus penipuan yang terjadi dan diawali dengan mencari panggung?
Selamat berakhir pekan. Saya mau manggung dulu. Konser di kamar mandi. Heuheu.
Maafkan ya kalau artikel kali ini pedas. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H