Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Barongsai Pembawa Pesan Toleransi yang Menari di Pusat Perbelanjaan

25 Januari 2020   19:53 Diperbarui: 25 Januari 2020   19:58 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wah sudah banyak penonton .- Dokumen Pribadi

Kalau tidak ibu saya yang meminta untuk mengantarkan ke Matos -- salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Kota Malang -- barangkali saya tak akan mau menghabiskan libur Imlek kemarin dengan datang ke pusat keramaian tersebut. Maklum, saya baru saja tiba dari Yogyakarta pada sore hari sebelumnya. Namun, demi momen berharga melihat barongsai yang menjadi ikon perayaan imlek ini, saya pun akhirnya menyanggupi ajakan ini.

Perayaan imlek bagi saya -- dengan barongsai di dalamnya -- menjadi sebuah perayaan yang unik. Ada bagian kecil dari hidup saya yang seakan lenyap mengenai upacara tahun baru etnis Tionghoa ini. Tumbuh dari bayi, balita, hingga pertengahan sekolah dasar pada masa orde baru, membuat perayaan imlek adalah memori baru yang hinggap di otak. Saya baru pertama kali melihat barongsai saat perayaan imlek di tahun 2001. Saat itu kalau tidak salah perayaan imlek pertama di Indonesia dan masih berlaku hari libur fakultatif.

Saat itu pula, saya masih belum begitu memaknai perayaan ini secara mendalam. Yang hanya saya tahu, imlek hanya untuk orang Tionghoa saja. Imlek adalah perayaan bagi mereka yang pernah dipersepsikan memiliki kehidupan eksklusif.

Saya menganggap diri saya belum beruntung lantaran sejak kecil tidak bisa memaknai imlek dengan lebih baik. Tak seperti anak-anak generasi alfa saat ini yang begitu bersemangat ketika akan diajak orang tuanya melihat barongsai di Matos. Termasuk pula Inara -- sepupu saya yang berusia 3 tahun -- saat adik saya menjanjikannya melihat barongsai. Ia bahkan sudah datang pagi buta dalam keadaan korep -- belum mandi -- pada Sabtu kemarin.

Dari tontonan YouTube yang ia tonton, balita itu bahkan sudah bisa sedikit memeragakan bagaimana cara barongsai berlenggak-lenggok, melompat, dan tentunya mengerlingkan matanya. Tak hanya Inara, kala saya sampai di tempat acara, ribuan anak-anak Malang sudah berduyun-duyun datang bersama orang tua mereka sedari pagi.

Bahkan, mereka ada yang sudah datang sejak jam 6 pagi demi bisa meihat pertunjukan barongsai lebih dekat. Mereka juga bisa membeli aneka mainan yang berhubungan dengan imlek semisal replika barongsai, lampion, atau pun mainan boneka cina. Perayaan imlek pun tak ubahnya dengan parade kebudayaan Tionghoa yang kini begitu masif dilakukan.

Wah sudah banyak penonton .- Dokumen Pribadi
Wah sudah banyak penonton .- Dokumen Pribadi

Asyik dapat mainan baru... - Dokumen Pribadi
Asyik dapat mainan baru... - Dokumen Pribadi

Kami memang datang terlambat. Inara yang sudah semangat pun harus menelan kekecewaan karena tak bisa melihat dengan jelas pertunjukan barongsai. Banyak anak-anak yang juga berusaha untuk bisa melihat dengan dipanggul oleh orang tua mereka. Entah mereka paham atau tidak, jika melihat pemandangan ini, saya malah teringat memori ketika ayah saya memanggul saya untuk melihat pertandingan Arema.

Anak-anak sekarang memang jauh lebih mengenal  perayaan imlek. Jauh lebih bisa memahami sekilas bahwa keberadaan etnis Tionghoa adalah bagian dari bangsa Indonesia. Mereka juga belajar mengenai kebudayaan etnis Tionghoa yang memiliki nilai budi pekerti luhur.

Salah satunya ketika barongsai yang kami tonton menunduk memberikan hormat kepada raja dan ratu yang berpakaian adat Tionghoa. Pertunjukan yang ternyata mengajarkan kita untuk menghormati orang yang lebih tua ini ditonton oleh ribuan anak-anak. Tak sampai di situ saja, ketika beberapa barongsai itu telah menerima angpao, mereka langsung mengerlingkan mata dan menggerakkan kepala. Sebuah tanda ucapan terima kasih yang bisa menjadi contoh bagi anak-anak. Jangan lupa mengucapkan terima kasih ketika kita telah diberikan sesuatu oleh seseorang.


Perayaan Imlek di Malang memang meriah. Anak-anak yang menjadikan barongsai sebagai pusat perhatian memang mendapatkan suguhan menarik. Lantas, apakah mereka sudah bisa mempraktikkan apa yang mereka saksikan itu dalam kehidupan sehari-hari? Dalam artian sederhana, sudahkan mereka bisa bertoleransi terhadap temannya yang berbeda suku terutama Tionghoa? Masihkah ada yang mencibir rekannya yang kebetulan beretnis Tionghoa dengan sebutan "cimeng"?

Yah ketiduran adiknya . - Dokumen Pribadi
Yah ketiduran adiknya . - Dokumen Pribadi

Pertanyaan ini kembali kepada bagaimana imlek bisa menjadi momen berharga untuk memutus praktik rasisme tersebut. Saat saya sekolah dulu, masih ada lho teman saya yang mem-bully rekan saya yang kebetulan beretnis Tionghoa dengan memanggilnya "cimeng". Bahkan saat saya kuliah, ada satu rekan saya yang beretnis Tionghoa mendapatkan tindakan rasisme. Saat itu kelas kami menolak untuk melobi dosen agar bisa mengganti jadwal kuliah karena saat itu mendekati lebaran. Lantaran rekan Tionghoa saya kebetulan menjadi ketua kelas, maka beberapa rekan dari kelas lain menyebut rekan saya dengan sebutan tak enak. Cina dan tentunya non muslim.

Lha adiknya takut barongsai. - Dokumen Pribadi
Lha adiknya takut barongsai. - Dokumen Pribadi

Kejadian semacam ini membuat saya sadar bahwa hubungan baik antara etnis Tionghoa dan bagaimana kami sebagai etnis lain yang mungkin menganggap "lebih pribumi" haruslah dipupuk sejak kecil. Tidak hanya seremonial semata, Imlek juga harus bisa menjadi momen untuk menanamkan semangat bahwa mereka, rekan-rekan Tionghoa juga sama seperti kita. Sama memiliki hak dan kewajiban terhadap negara. Mereka juga didorong untuk bisa lebih menerima jika ada teman yang beretnis Tionghoa menjadi teman sekolah, kuliah, atau teman bermain mereka.

Biar lebih jelas dipanggul ayah. - Dokumen pribadi
Biar lebih jelas dipanggul ayah. - Dokumen pribadi

Kota Malang memang menjadi salah satu maket dalam upaya toleransi ini. Jika meruntut ke belakang, pernah ada suatu peraturan rasisme yang membagi kawasan Kota Malang berdasarkan kesukuan. Tepatnya, saat pemerintahan kolonial dengan peraturan bernama wijkenstelsel.  Peraturan ini membuat adanya kampung eropa, kampung pribumi, kampung arab, dan tentunya pecinan atau kampung tionghoa.

Yah lihat itu ada promo diskon eh ada barongsai. - Dokumen pribadi
Yah lihat itu ada promo diskon eh ada barongsai. - Dokumen pribadi

Hingga kini pun, dampak peraturan ini masihlah cukup terasa. Masih ada beberapa bagian di Kota Malang yang memiliki populasi etnis tertentu dengan cukup signifikan. Semisal, warga beretnis Madura di bagian timur, warga beretnis Arab di bagian tengah selatan, dan warga beretnis Tionghoa di sekitar Pasar Besar. Meski demikian, seiring berjalannya waktu, dampak dari pemisahan rasial ini tidaklah kentara. Buktinya, saat saya melihat pertunjukan barongsai ini, anak-anak dari empat etnis besar di Malang -- Jawa, Madura, Tionghoa, dan Arab -- sama-sama asyik dipanggul oleh orang tuanya. Sebuah langkah awal yang bagus menanamkan nilai toleransi diantara mereka.

Bapak ibu anaknya dijaga ya jangan sampai hilang. - Dokumen Pribadi
Bapak ibu anaknya dijaga ya jangan sampai hilang. - Dokumen Pribadi

Barongsai yang menari di pusat perbelanjaan itu terus membuat anak-anak tertawa sekaligus takjub. Mereka bahkan terus menari hingga siang hari di dalam sudut Mall yang semakin sesak didatangi oleh para pengunjungnya. Saya hanya bisa berharap, tarian yang mereka mainkan bisa terus menjadi pembawa pesan toleransi di kota bunga ini.

Selamat merayakan Imlek untuk saudara-saudariku semua.

Semoga kita mendapatkan banyak cuan, yang bukan sekadar uang dan materi, tetapi berkah dan kebaikan di tahun tikus ini.

Salam.   

*) Cimeng adalah sebutan rasis yang sering saya dengar saat sekolah dulu. Kalau tidak salah kependekan dari cina mengong. Teman kampung saya yang beretnis Tionghoa sempat down saat dipanggil dengan sebutan ini karena sangat menyakitkan walau menurut sebagian dari yang memanggilnya demikian hanya candaan belaka. Saya berharap sebutan ini tidak lagi digunakan di mana pun juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun