Perayaan Imlek di Malang memang meriah. Anak-anak yang menjadikan barongsai sebagai pusat perhatian memang mendapatkan suguhan menarik. Lantas, apakah mereka sudah bisa mempraktikkan apa yang mereka saksikan itu dalam kehidupan sehari-hari? Dalam artian sederhana, sudahkan mereka bisa bertoleransi terhadap temannya yang berbeda suku terutama Tionghoa? Masihkah ada yang mencibir rekannya yang kebetulan beretnis Tionghoa dengan sebutan "cimeng"?
Pertanyaan ini kembali kepada bagaimana imlek bisa menjadi momen berharga untuk memutus praktik rasisme tersebut. Saat saya sekolah dulu, masih ada lho teman saya yang mem-bully rekan saya yang kebetulan beretnis Tionghoa dengan memanggilnya "cimeng". Bahkan saat saya kuliah, ada satu rekan saya yang beretnis Tionghoa mendapatkan tindakan rasisme. Saat itu kelas kami menolak untuk melobi dosen agar bisa mengganti jadwal kuliah karena saat itu mendekati lebaran. Lantaran rekan Tionghoa saya kebetulan menjadi ketua kelas, maka beberapa rekan dari kelas lain menyebut rekan saya dengan sebutan tak enak. Cina dan tentunya non muslim.
Kejadian semacam ini membuat saya sadar bahwa hubungan baik antara etnis Tionghoa dan bagaimana kami sebagai etnis lain yang mungkin menganggap "lebih pribumi" haruslah dipupuk sejak kecil. Tidak hanya seremonial semata, Imlek juga harus bisa menjadi momen untuk menanamkan semangat bahwa mereka, rekan-rekan Tionghoa juga sama seperti kita. Sama memiliki hak dan kewajiban terhadap negara. Mereka juga didorong untuk bisa lebih menerima jika ada teman yang beretnis Tionghoa menjadi teman sekolah, kuliah, atau teman bermain mereka.
Kota Malang memang menjadi salah satu maket dalam upaya toleransi ini. Jika meruntut ke belakang, pernah ada suatu peraturan rasisme yang membagi kawasan Kota Malang berdasarkan kesukuan. Tepatnya, saat pemerintahan kolonial dengan peraturan bernama wijkenstelsel. Â Peraturan ini membuat adanya kampung eropa, kampung pribumi, kampung arab, dan tentunya pecinan atau kampung tionghoa.
Hingga kini pun, dampak peraturan ini masihlah cukup terasa. Masih ada beberapa bagian di Kota Malang yang memiliki populasi etnis tertentu dengan cukup signifikan. Semisal, warga beretnis Madura di bagian timur, warga beretnis Arab di bagian tengah selatan, dan warga beretnis Tionghoa di sekitar Pasar Besar. Meski demikian, seiring berjalannya waktu, dampak dari pemisahan rasial ini tidaklah kentara. Buktinya, saat saya melihat pertunjukan barongsai ini, anak-anak dari empat etnis besar di Malang -- Jawa, Madura, Tionghoa, dan Arab -- sama-sama asyik dipanggul oleh orang tuanya. Sebuah langkah awal yang bagus menanamkan nilai toleransi diantara mereka.
Barongsai yang menari di pusat perbelanjaan itu terus membuat anak-anak tertawa sekaligus takjub. Mereka bahkan terus menari hingga siang hari di dalam sudut Mall yang semakin sesak didatangi oleh para pengunjungnya. Saya hanya bisa berharap, tarian yang mereka mainkan bisa terus menjadi pembawa pesan toleransi di kota bunga ini.