Ketika pulang ke Malang awal tahun ini, saya mendapat kejutan berupa penutupan ruas jalan yang berada tak jauh dari rumah saya.
Penutupan ini bahkan sudah diumumkan melalui selebaran yang ditempel di ruas jalan lainnya. Waduh, kalau mendengar penutupan jalan, biasanya saya langsung lemas. Tak lain, saya tidak bisa ke mana-mana.Â
Untung saja, penutupan jalan tersebut dilakukan bukan saat akhir pekan. Juga, tidak dilakukan saat pagi hingga sore ketika saya beraktivitas keluar masuk. Penutupan jalan baru dilakukan menjelang maghrib.
Ada sebuah event salawatan yang digelar oleh sebuah ormas -- lebih tepatnya jamaah zikir -- yang berada tak jauh dari rumah saya. Perkumpulan ini memang rutin menyelenggarakan acara semacam ini dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain.Â
Saya tidak menyangka bahwa acara besar semacam ini akan dilakukan di sekitar rumah saya. Mengingat, area tempat tinggal saya amatlah sempit. Biasanya, saya kerap melihat acara ini di lapangan terbuka.
Saya tidak pernah mengikuti acara pada jamaah ini. Namun, saya pernah mengikuti acara serupa pada jamaah lain. Ya, intinya sama lah. Kami akan membacakan salawat nabi, berdoa bersama, dan mengikut tausiah dari alim ulama yang hadir. Saya malah senang jika tempat saya mendapatkan kehormatan untuk bisa menggelar acara tersebut.
Mengingat saya tidak mengikuti acara ini, saya malah asyik berkeliling venue acara di sepanjang jalan yang ditutup. Tak disangka, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, area jalan tersebut sudah penuh dengan lautan manusia. Terutama, para pedagang yang entah dari mana datangnya sudah memenuhi pinggir jalan tersebut.
Jadi, saya mendapatkan hiburan gratis juga berupa pasar malam yang bisa saja terjadi satu kali seumur hidup saya di tempat itu. Biasanya, jalan tersebut memang ramai oleh lalu-lalang pengendara kendaraan bermotor tetapi sepi oleh para pedagang. Saking senangnya dengan acara ini, penduduk di kampung saya pun yang tak ikut pengajian juga hadir di pasar itu.
Berbagai pedagang yang menjajakan dagangannya juga semakin banyak. Ada yang terlambat sehingga bingung mencari tempat untuk menggelar lapaknya. Diantara sekian pedagang yang memenuhi area sekitar pengajian, saya malah tertarik dengan para pedagang alas yang digunakan untuk duduk.
Dengan penggunaan plastik ini, maka alas tersebut masih bisa digunakan lagi pada acara pengajian selanjutnya. Kalau tidak salah, acara ini rutin digelar sebulan sekali dan berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lain.
Para pedagang alas ini rupanya didominasi oleh anak-anak. Entah bagaimana mereka bisa mendapatkan alas itu, saat saya tanya mereka hanya menjawab untuk membantu atah atau ibunya. Alas seharga 5.000 rupiah itu pun uniknya banyak yang laku. Terlebih, bagi para jamaah yang datang terlambat dan hanya bisa menyaksikan gelaran acara dari sebuah monitor besar di bagian belakang.
Nah, sayangnya, pihak penyelenggara tidak terlalu mengorganisasikan masalah parkir ini. Akibatnya, ada sedikit kesalahpahaman yang terjadi di lapangan. Untung saja tidak sampai menimbulkan konflik.
Semua bermula dari beberapa pemuda di sekitar kampung saya yang berniat menggunakan lahan kosong di dekat rumah Pakde saya untuk parkir. Pakde saya pun setuju saja toh demi kebersamaan. Sejak sore hari, tempat pun sudah ditata dan bahkan ada yang sudah membuat semacam karcis.
Sayangnya, ketika petang menjelang dan mulai ada pengunjung yang masuk, saat mereka diminta untuk membayar, ternyata mereka sudah membayar di tempat lain. Tepatnya di pintu masuk area pengajian. Dan oknum yang meminta uang parkir di pintu masuk tersebut tidak berkoordinasi tempat-tempat mana saja yang dijadikan lahan parkir.Â
Pokoknya mereka mendapatkan uang parkir dan pengunjung disuruh memarkir kendaraannya begitu saja. Baru saat menjelang malam ada beberapa orang yang mulai mengarahkan untuk menempati parkir di beberapa titik.
Yang jelas, akhirnya Pakde saya tidak menyetujui lahan rumahnya dijadikan tempat parkir dan beliau lebih memilih untuk mempersilakan para pedagang untuk berdagang atau para jamaah yang ingin beristirahat. Yang penting tidak digunakan untuk parkir.
Saya sih maklum dengan kejadian ini karena masalah parkir merupakan masalah sensitif dan berpotensi menimbulkan konflik.
Satu hal yang saya suka, selepas acara usai menjelang tengah malam, para pengunjung meninggalkan area dengan tertib dan hampir tidak menyisakan sampah sama sekali. Demikian pula para pedagang yang tak saya temukan bekas sampah dari keesokan harinya barang satu pun.
Perliaku yang patut dicontoh dari sebuah event pengajian akbar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H