Dengan penggunaan plastik ini, maka alas tersebut masih bisa digunakan lagi pada acara pengajian selanjutnya. Kalau tidak salah, acara ini rutin digelar sebulan sekali dan berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lain.
Para pedagang alas ini rupanya didominasi oleh anak-anak. Entah bagaimana mereka bisa mendapatkan alas itu, saat saya tanya mereka hanya menjawab untuk membantu atah atau ibunya. Alas seharga 5.000 rupiah itu pun uniknya banyak yang laku. Terlebih, bagi para jamaah yang datang terlambat dan hanya bisa menyaksikan gelaran acara dari sebuah monitor besar di bagian belakang.
Nah, sayangnya, pihak penyelenggara tidak terlalu mengorganisasikan masalah parkir ini. Akibatnya, ada sedikit kesalahpahaman yang terjadi di lapangan. Untung saja tidak sampai menimbulkan konflik.
Semua bermula dari beberapa pemuda di sekitar kampung saya yang berniat menggunakan lahan kosong di dekat rumah Pakde saya untuk parkir. Pakde saya pun setuju saja toh demi kebersamaan. Sejak sore hari, tempat pun sudah ditata dan bahkan ada yang sudah membuat semacam karcis.
Sayangnya, ketika petang menjelang dan mulai ada pengunjung yang masuk, saat mereka diminta untuk membayar, ternyata mereka sudah membayar di tempat lain. Tepatnya di pintu masuk area pengajian. Dan oknum yang meminta uang parkir di pintu masuk tersebut tidak berkoordinasi tempat-tempat mana saja yang dijadikan lahan parkir.Â
Pokoknya mereka mendapatkan uang parkir dan pengunjung disuruh memarkir kendaraannya begitu saja. Baru saat menjelang malam ada beberapa orang yang mulai mengarahkan untuk menempati parkir di beberapa titik.
Yang jelas, akhirnya Pakde saya tidak menyetujui lahan rumahnya dijadikan tempat parkir dan beliau lebih memilih untuk mempersilakan para pedagang untuk berdagang atau para jamaah yang ingin beristirahat. Yang penting tidak digunakan untuk parkir.
Saya sih maklum dengan kejadian ini karena masalah parkir merupakan masalah sensitif dan berpotensi menimbulkan konflik.