Pernikahan itu sebenarnya acara yang menyenangkan. Harus dibuat happy karena bisa jadi hanya sekali seumur hidup. Lantaran aturan dan kebiasaan, acara ini malah menjadi ribet dan sungguh memusingkan. Tidak hanya seputar persiapan segala perlengkapan, termasuk kegiatan undang-mengundang pun juga membuat pusing pikiran.
Saya sih termasuk orang yang woles tentang masalah undangan pernikahan ini. Alasannya, jika diundang pun, untuk beberapa waktu belakangan, saya tidak akan datang. Apa pasal?
Biasanya acara pernikahan rekan atau saudara berlangsung di luar kota yang tak mungkin saya bisa hadir. Saya baru datang jika tempat resepsi masih bisa dalam jangkauan. Untungnya, sang pengundang kerap maklum. Saya biasanya langsung meminta maaf lantaran tidak bisa hadir di acara sang mempelai dan tentunya dengan mendoakan semoga yang bersangkutan bisa bahagia sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945.
Lalu, apa hanya dengan permintaan maaf dan doa saja yang saya lakukan?
Tentu tidak. Lantaran saya masih memiliki hati nurani dan menjaga perasaan sang pengundang, maka saya biasanya titip uang buwuhan kepada rekan atau saudara yang hadir. Saya memastikan dulu siapa saja yang akan hadir dan bisa dipercaya untuk saya titipi uang buwuhan.Â
Tak banyak, biasanya sekitar 30 ribu hingga 50 ribu rupiah tergantung kedekatan saya dengan sang pengundang. Bahkan, jika sang pengundang adalah rekan dekat yang benar-benar dekat dan  saya tak bisa datang, maka saya bisa memberikan lebih dari itu.
Kalau di dalam keluarga dan lingkungan dekat saya, biasanya uang buwuhan ini menjadi semacam tanda hubungan perorangan yang baru bisa dinilai saat acara pernikahan. Semakin tinggi uang buwuhan yang diberikan, maka semakin dekat hubungan kekerabatan itu. Dan sebaliknya, jika uang buwuhan itu nominalnya kecil, biasanya sang penerima undangan hanya sekadar menggugurkan kewajiban.Â
Meski demikian, ini juga tidak berlaku umum. Ada lho kerabat saya, yang memang orang kaya, hampir memberikan uang 100 ribu rupiah saat memberikan buwuhan. Saya tahu lantaran dari pergunjingan dua bibi saya yang baru saja mengadakan respsi pernikahan dalam waktu yang hampir bersamaan.
Uang buwuhan pun akhirnya menjadi semacam tanda bahwa sang penerima undangan menghargai niat baik sang pengundang kepada mereka. Artinya, mereka masih dianggap penting dan dekat sehingga perlu diundang. Ada pula kan yang melaksanakan resepsi tiba-tiba sehingga ada kerabat atau rerkan yang tidak tahu?
Lucunya, saya memiliki tradisi unik dalam kelas kuliah saya dulu. Di sana, diundang atau tidak dan dirayakan atau tidak, ketika ada teman satu kelas yang melaksanakan pernikahan, maka semua wajib memberi uang buwuhan.Â
Nominalnya pun sudah ditentukan, yakni 50.000 rupiah. Ini bisa juga dijadikan semacam arisan. Kalau mau dapat uang arisan syaratnya ya mau tak mau harus menikah.
Uniknya lagi, awalnya kami memberikan uang buwuhan itu dalam bentuk kado. Berupa barang yang kira-kira bisa digunakan bagi calon mempelai yang akan membangun biduk rumah tangga. Lama-lama, mengingat kesibukan kami yang tiada henti dan tak banyak rekan yang hadir saat resepsi pernikahan, maka kado barang pun diganti dengan uang.
Biasanya, ada saja anggota kelas kami yang mendengar desas-desus rekan yang akan menikah. Saya sampai heran bagaimana bisa mereka mendapatkan kabar itu. Rekan yang diam-diam melaksanakan hajatan pernikahan pun akhirnya tak bisa menutup diri. Lha sudah kecatat arisan buwuhan.
Makanya, meski acara pernikahan sudah berlangsung lama atau bahkan mempelai wanita sudah hamil, uang itu akan tetap diberikan. Kami juga akan menagih uang buwuhan bagi anggota yang belum membayar.Â
Walau terkesan sedikit memaksa, tetapi hal ini tetap dilakukan karena uang buwuhan ini adalah salah satu -- atau bahkan satu-satunya -- tanda pertemanan dan kekerabatan. Kalau kegiatan ini dihilangkan, bisa jadi ada rekan yang sengaja menghilang dari peradaban. Tak memberi kabar jika ia menikah.
 Padahal, kami semua tentu bahagia dengan adanya pernikahan itu terlepas apapun drama yang terjadi di dalamnya. Dan uang buwuhan juga sebagai tanda bahagia kami yang tidak bisa menghadiri acara resepsi. Â
Walau  tidak datang, yang penting uang buwuhan sampai di rekening mempelai pernikahan. Kalau ada yang bisa hadir, maka semua uang itu akan dititipkan kepada yang hadir jadi satu.
Di samping itu, adanya uang buwuhan, meski tidak banyak, sekitar 30 orang dikali 50.000 rupiah, bisa jadi modal awal bagi mereka yang baru menjalin hubungan sah. Ini juga sebagai penyemangat bagi mereka agar terus berjuang di kehidupan baru yang tidak mudah.Â
Jadi, ketika ada desas-desus siapa yang akan menikah dalam waktu dekat, maka grup WA baru untuk mengumpulkan uang buwuhan pun akan dibuat. Tak perlu waktu lama untuk mengumpulkan uang buwuhan.
Sebagai generasi milenial, saya dan sebagian besar rekan saya sebenarnya tidak mau ambil pusing masalah undang mengundang ini. Kami masih menjaga tradisi lama dari orang tua kami. Namun, kami juga tak mau terlalu larut dalam gunjingan undangan respsi pernikahan.
Diundang atau tidak, datang atau tidak, asal yang bersangkutan dekat dan pernah memiliki hubungan dekat dengan kita, ya bagi saya wajib memberi uang buwuhan.
Sekian. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H