Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Ternyata, Ada Museum di Bangunan Dinas Pariwisata Kabupaten Demak

23 Desember 2019   16:37 Diperbarui: 23 Desember 2019   17:05 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keinginan saya mengunjungi Demak sudah membuncah. Maklum, ketika ikut tur rombongan ziarah wali, paling banter saya hanya ikut rombongan wali limo. Makam terjauh yang saya tuju ya Makam Sunan Bonang di Tuban. Belum ada makam wali songo di Jawa Tengah yang sudah saya ziarahi.

Saya ingin sesekali merasakan bagaimana sih rasanya berziarah ke makam wali seorang diri dan tak ikut rombongan. Kok kelihatannya bisa lebih bebas tanpa banyak menghabiskan waktu untuk berbelanja. Makanya, saat mengunjungi Semarang, saya langsung mencoba meneruskan perjalanan ke kota para wali ini.

Dari Semarang, perjalanan saya mulai dari Genuk. Selepas Bus Trans Semarang tiba di Halte Genuk, saya segera menyeberang ke jalan poros Semarang-Demak untuk naik bus kecil. Ini seperti bus-bus yang saya naiki menuju Tempel Sleman. Saking kecilnya, beberapa penumpang harus menunduk dan berimpitan agar bisa terbawa angkutan ini dengan nyaman. Tidak ada AC pada bus dengan ongkos 5.000 rupiah ini.

Perjalanan menuju Demak. - Dokpri
Perjalanan menuju Demak. - Dokpri
Perjalanan selama kurang lebih 35 menit itu berakhir di pinggir jalan. Saya memang sengaja untuk turun di dekat terminal lantaran dari Google map yang saya bawa, hanya perlu sekitar 1 km untuk sampai di Masjid Agung Demak. Saya berjalan perlahan sambil mengipasi kepala yang mulai berkeringat. Di sepanjang perjalanan, beberapa kalimat asmaul husna yang terpajang menjadi teman saya.

Alhamdulillah, saya masih diingatkan untuk tetap memaknai nama-nama baik Allah tersebut. Pun, saya semakin yakin jika Demak adalah Kota Wali yang memiliki keistimewaan tersendiri. Langkah kaki saya semakin ringan untuk terus menjelajah. Saya selalu suka dengan kota yang jalanannya cukup sepi. Alasannya, saya bisa menyeberang tanpa takut. Dan Demak adalah salah satu kota tersebut.

Sambil berjalan, sesekali saya membuka peta di Google map. Saya pastikan kembali bahwa saya melangkah di jalan yang benar. Ternyata, jalan saya masih benar dan belum menyimpang. Perjalanan saya pun kembali saya lanjutkan.

Tak jauh dari Simpang Enam Demak, saya melihat ada sebuah bangunan kayu bercat kuning dan hijau yang cukup menarik perhatian. Dari papan besar yang ada di depan bangunan itu, tertulis plang Dinas Pariwisata. Namun, di sebelahnya, ada nama museum yang sangat menarik minat saya. Jadi, ini kantor dinas apa museum?

Saya berhenti sejenak dan menimbang apakah akan mampir. Kalau dibilang museum, rasanya kok tidak pas ya. Saya tidak menemukan pintu masuk museum layaknya museum lain yang pernah saya kunjungi. Atau paling tidak, ada petugas jaga yang siap sedia. Pintu utama saya lihat ya seperti para perkatoran pada umumnya. Namun, sebuah beduk besar tiba-tiba membuat saya ragu kembali. Ini beduk buat apa? Jadi, ini benar museum kan?

Akhirnya, daripada saya penasaran, saya pun memutuskan untuk masuk saja ke ruangan tempat beduk tadi diletakkan. Saya intip sekilas dan ternyata ada banyak koleksi di dalamnya. Wah, iya benar. Ini museum. Lalu, dari mana masuknya?

Saya pun masuk ke pintu utama yang disambut seorang bapak. Beliau mengarahkan saya untuk masuk saja ke belakang jika akan berkunjung ke museum. Menuruti petunjuknya, saya pun masuk ke halaman belakang. Di sana, banyak pegawai yangsedang berlalu-lalang. Aduh, kok jadi kikuk ya.

Saya kembali ditegur oleh seorang Bapak paruh baya yang menanyakan maksud kedatangan saya. Dengan mantap, saya pun menjawab akan melihat koleksi museum. Beliau pun mengarahkan saya ke Mbak-Mbak pegawai Dispar yang ada di sebuah ruangan. Setelah permisi dan berbasa-basi, saya pun diminta untuk mengisi buku tamu.

Si Mbak lalu tergopoh-gopoh masuk ke pintu masuk museum yang ternyata berada di sebelah ruangan tadi. Lebih tepatnya masih satu ruangan hanya disekat dengan papan. Ia bergegas membereskan sebuah permainan tradisional yang tercecer.

"Maaf, ya Mas. Kemarin baru saja ada acara. Jadinya berantakan."

Saya mengangguk dan memaklumi. Saya bertanya apakah saya boleh mengambil gambar dan video. Saya pun dipersilakan asal tak menyentuh barang-barang koleksi. Tanpa didampingi Mbaknya lagi, saya pun seorang diri mengelilingi ruangan tersebut.

Saya bingung sebenarnya akan memulai dari mana. Yang jelas, sebenarnya koleksi di dalam museum ini cukup berharga. Koleksi utama adalah berbagai macam guci yang ditemukan saat masa kolonial. Salah satu jenis guci tersebut digunakan untuk menyimpan obat.

Guci obat koleksi museum. - Dokpri.
Guci obat koleksi museum. - Dokpri.
Guci yang tak terlalu besar ini selalu mengingatkan saya pada guci obat pada film Mandarin. Ternyata, kehidupan masyarakat pada masa itu juga telah mengenal ilmu kimia dan farmasi dengan baik. Mereka telah mengetahui jenis obat apa yang bisa disimpan dalam waktu lama di sebuah guci. Koleksi tentang zat kimia ini semakin lengkap dengan adanya pipisan dan gandik. 

Gandik adalah alat untuk menumbuk obat atau jamu sedangkan pipisan merupakan alas dari gandik. Adanya koleksi semacam ini semakin meneguhkan bahwa daerah Demak, Semarang, dan sekitarnya cukup memiliki andil dalam pengobatan herbal. Makanya, pabrik jamu tradisional juga ada di Semarang.

Pipisan dan Gandik. - Dokpri
Pipisan dan Gandik. - Dokpri
Ada pula repilka tatal atau soko guru yang digunakan sebagai tiang Masjid Agung Demak. Soko tatal ini dibuat oleh Sunan Kalijaga yang juga berperan sebagai wali songo. Beberapa koleksi arca seperti Boneka Ganesha juga ada. Dengan adanya koleksi ini, Demak ternyata juga menyimpan sejarah panjang pada masa Hindu-Buddha.

Beduk yang saya lihat dari luar tadi. - Dokpri.
Beduk yang saya lihat dari luar tadi. - Dokpri.
Replika bangunan Masjid Agung Demak. - Dokpri
Replika bangunan Masjid Agung Demak. - Dokpri
Saya tak menemukan banyak hal lagi selain beduk besar dan mahkota Mbak dan Mas Demak -- ajang putra dan putri pariwisata -- yang tak lagi digunakan. Redupnya pencahayaan di ruangan tersebut cukup menyulitkan saya dalam mengambil gambar. Dengan berat hati, saya akhiri tur singkat di museum yang ternyata bernama Museum Glagah Wangi tersebut.

Mahkota Mas dan Mbak Demak. -Dokpri
Mahkota Mas dan Mbak Demak. -Dokpri
Jika boleh jujur, museum ini harus lebih ditata lagi. Jangan sampai ada stigma bahwa museum ini seperti gudang. Yang tak terawat dan dibiarkan begitu saja. Paling tidak, kalau masih dibuka untuk umum, petunjuk untuk masuk ke dalam museum dipajang dengan jelas. Penataan barang-barang juga kalau bisa diperbaiki agar pengunjung paham maksud dan tema dari museum ini seperti museum lainnya. Kalau begini kan pengunjung jadi ingah-ingih, mau masuk kok ya sungkan.

Salam.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun