Mereka juga kerap berdiskusi seputar kegiatan kampung dan kehidupan mereka di sela-sela berbelanja. Makanya, semangat untuk berbelanja di pasar dadakan ini jauh lebih tinggi.
Dengan makin ramainya pembeli di pasar dadakan ini, secara otomatis keberadaannya mendatangkan penjual lain yang ikut berjualan di sana. Tak sekadar bahan dapur, aneka macam kue basah, nasi bungkus, hingga peralatan rumah tangga pun dijual oleh para pedagang tersebut.
Lama-kelamaan, pasar ini pun semakin sesak.
Yang jelas, lama-lama, pedang yang ada semakin banyak dan makin banyak pembeli yang berdatangan.
Meski demikian, ada beberapa pedagang yang menggelar barang dagangannya seadanya. Seperti pedagang jenang yang menjual barang dagangannya tak terlalu banyak dan (maaf) bagi saya kurang menarik. Tak ada satupun pembeli yang menengoknya barang sebentar.
Ada pemula seorang bapak tua yang menjajakan nasi pecel dengan jumlah yang tak terlalu banyak. Ia duduk manis sambil berharap ada satu saja pembeli yang mau menengok dagangannya.
Kadang dalam hati saya merasa miris tapi ya bagaimana lagi. Para pembeli yang datang ke tempat tersebut juga memperhitungkan barang apa saja yang mereka beli. Atau, bisa juga melihat dagangan mereka yang kurang "menjual", para pembeli pun segan.
Inilah salah satu kelemahan pasar dadakan seperti ini. Tidak adanya regulasi dari pemangku kebijakan yang mengawasi membuat siapa saja bisa berdagang. Tidak ada standar bagaimana mereka menempati lapak dagangan mereka dan tentu saja tidak ada retribusi yang dibebankan pada mereka. Sebuah simalakama.