Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kembali, Difteri Menyerang Ratusan Siswa di Malang

25 Oktober 2019   08:42 Diperbarui: 29 Oktober 2019   05:57 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak beberapa hari lalu, ratusan siswa MIN Malang 1 diliburkan hingga satu minggu penuh. Pasalnya, ada sekitar 212 siswa dan 15 guru-karyawan yang diduga membawa carrier atau gejala penyakit difteri. 

Kejadian yang cukup luar biasa ini membuat masyarakat Malang khawatir lantaran selain terjadi di salah satu sekolah favorit dengan jumlah murid yang sangat besar, kejadian ini bukanlah yang pertama.

Beberapa tahun silam, kasus serupa yang menimpa sekolah lain, baik SD hingga SMA. Wabah difteri menjadi wabah penyakit yang harus ditanggapi dengan cukup serius. Terlebih, bersamaan dengan MIN Malang 1, SMA Negeri 7 Malang juga mengalami hal serupa. 

Ada sekitar 62 siswa dan guru yang diduga menjadi carrier dan sedang menjalani proses penyembuhan. Meski, sekolah tersebut hanya meliburkan siswanya dua hari dan mewajibkan mereka menggunakan masker saat pelajaran berlangsung.

Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria tersebut memang memiliki waktu penularan yang cukup cepat. Berbagai faktor penyebab penularan dapat ditemukan di sekitar kita. Mulai bersin, batuk, dan berbagai benda yang sudah terkontaminasi dengan bakteri ini. 

Yang membuat penyakit ini harus diwaspadai adalah tidak semua orang yang sudah terinfeksi difteri mengalami gejala yang khas. Seperti sakit tenggorokan, suara serak, batuk, pilek, dan demam menggigil. 

Rekan saya yang pernah terjangkit penyakit ini awalnya menganggap ia hanya terkena demam biasa dan sedang mengalami kecapekan.

Makanya, ketika penderita tetap beraktivitas dan berkumpul bersama orang lain, maka penyakit ini akan mudah sekali menyebar. Mudah sekali membuat ratusan orang menjadi carrier difteri sehingga sangat mengganggu aktivitas terutama belajar-mengajar. 

Kasus semacam ini pertama kali terjadi di Malang sekitar tahun 2014. Dari satu sekolah, muncul sekolah lain yang harus meliburkan siswanya lantaran wabah difteri yang menyebar.

Walau kejadian ini sudah terjadi berulang, tetapi pemerintah daerah belum menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri. Penyebabnya, tidak ada peningkatan penderita yang signifikan dan korban meninggal akibat penyakit ini. 

Meski begitu, pemerintah daerah melalui Dinas Kesehatan menggalakkan sistem kewaspadaan dini (SKD), baik melalui pengobatan maupun imunisasi. 

Banyak sekolah di Malang yang melakukan imunisasi difteri, terutama siswa SD mulai dari kelas 1 hingga 6. Untuk siswa Kelas 1 dilakukan imunisasi DT, sedangkan untuk kelas selanjutnya diwajibkan imunisasi Td.

Sayangnya, kadang kewaspadaan terhadap penyakit Difteri oleh orang tua murid kurang dipahami dengan seksama. Padahal, dibandingkan penyakit lain, difteri termasuk penyakit yang memiliki proses penularan cukup cepat. 

Salah satu indikasinya adalah tidak hadirnya orang tua murid ketika sekolah mengundang mereka dalam rangka sosialisasi penyakit ini meskipun sudah dilakukan di hari Sabtu atau bukan jam kerja. 

Seperti yang terjadi di SMAN 7 Malang, dari sekitar 1130 orang tua siswa, hanya 280 diantaranya yang datang. Padahal, dalam acara yang juga dilakukan sosialisasi obat difteri tersebut, ada banyak informasi yang perlu diketahui oleh orang tua, semisal tata minum obat yang tidak boleh sembarangan. 

Tentu, rendahnya kesadaran semacam ini juga cukup membahayakan. Apalagi, masih banyak orang tua yang tidak mengetahui dengan jelas tanda dan gejala penyakit difteri. 

Saat sang anak mulai terjangkit penyakit ini, mereka akan tetap menyuruhnya masuk sekolah lantaran menganggapnya sebagai flu atau batuk biasa. Saat sang anak bermain, berbicara, dan dekat dengan anak lainnya, dengan mudah penyakit ini akan menyebar luas.

Untuk itulah, peran para pemangku bidang kesehatan dan pendidikan sangat perlu melakukan kerjasama yang lebih berkesinambungan. 

Pentingnya pemberian vaksin difteri juga harus terus disosialisasikan mengingat saat ini juga masih muncul kampanye antivaksin yang dilakukan oleh oknum tertentu. 

Padahal, menurut Kemenkes, difteri bisa dicegah dengan cakupan imuniasasi yang telah mencapai minimal 95 persen. Jika mengacu pada tolak ukur Universal Child Immunization (UCI), imunisasi di suatu daerah dikatakan merata apabila telah mencapai angka lebih dari 80 persen. 

Adanya kasus semacam ini yang menyerang ratusan siswa paling tidak menandakan cakupan imunisasi tersebut belum maksimal. Apalagi, kasus semacam ini tidak satu dua kali saja terjadi.

Pihak sekolah juga bisa melakukan sosialisasi berulang tentang wabah penyakit ini. Melalui kader kesehatan yang dibentuk, seperti dokter kecil pada tingkat SD dan PMR pada SMP-SMA, sosialisasi secara berkala secara sederhana juga bisa dilakukan. 

Paling tidak, ketika mereka paham sedikit gejala yang ada, mereka bisa speak up terhadap orang tuanya agar bisa memeriksakan diri lebih lanjut sehingga mencegah penularan yang lebih masif.

Semoga siswa-siswi tersebut segera sembuh dan kejadian ini tak lagi berulang.

Sumber:

(1) (2) (3) (4) (5)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun