Banyak sekolah di Malang yang melakukan imunisasi difteri, terutama siswa SD mulai dari kelas 1 hingga 6. Untuk siswa Kelas 1 dilakukan imunisasi DT, sedangkan untuk kelas selanjutnya diwajibkan imunisasi Td.
Sayangnya, kadang kewaspadaan terhadap penyakit Difteri oleh orang tua murid kurang dipahami dengan seksama. Padahal, dibandingkan penyakit lain, difteri termasuk penyakit yang memiliki proses penularan cukup cepat.Â
Salah satu indikasinya adalah tidak hadirnya orang tua murid ketika sekolah mengundang mereka dalam rangka sosialisasi penyakit ini meskipun sudah dilakukan di hari Sabtu atau bukan jam kerja.Â
Seperti yang terjadi di SMAN 7 Malang, dari sekitar 1130 orang tua siswa, hanya 280 diantaranya yang datang. Padahal, dalam acara yang juga dilakukan sosialisasi obat difteri tersebut, ada banyak informasi yang perlu diketahui oleh orang tua, semisal tata minum obat yang tidak boleh sembarangan.Â
Tentu, rendahnya kesadaran semacam ini juga cukup membahayakan. Apalagi, masih banyak orang tua yang tidak mengetahui dengan jelas tanda dan gejala penyakit difteri.Â
Saat sang anak mulai terjangkit penyakit ini, mereka akan tetap menyuruhnya masuk sekolah lantaran menganggapnya sebagai flu atau batuk biasa. Saat sang anak bermain, berbicara, dan dekat dengan anak lainnya, dengan mudah penyakit ini akan menyebar luas.
Untuk itulah, peran para pemangku bidang kesehatan dan pendidikan sangat perlu melakukan kerjasama yang lebih berkesinambungan.Â
Pentingnya pemberian vaksin difteri juga harus terus disosialisasikan mengingat saat ini juga masih muncul kampanye antivaksin yang dilakukan oleh oknum tertentu.Â
Padahal, menurut Kemenkes, difteri bisa dicegah dengan cakupan imuniasasi yang telah mencapai minimal 95 persen. Jika mengacu pada tolak ukur Universal Child Immunization (UCI), imunisasi di suatu daerah dikatakan merata apabila telah mencapai angka lebih dari 80 persen.Â
Adanya kasus semacam ini yang menyerang ratusan siswa paling tidak menandakan cakupan imunisasi tersebut belum maksimal. Apalagi, kasus semacam ini tidak satu dua kali saja terjadi.
Pihak sekolah juga bisa melakukan sosialisasi berulang tentang wabah penyakit ini. Melalui kader kesehatan yang dibentuk, seperti dokter kecil pada tingkat SD dan PMR pada SMP-SMA, sosialisasi secara berkala secara sederhana juga bisa dilakukan.Â