Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Beberapa Poin Kritik Saya Kepada Penyelenggara Negara

25 September 2019   10:31 Diperbarui: 27 September 2019   18:24 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejujurnya saya juga malas ikut nulis dan bicara politik. - Suryamalang.com

Saya benci nulis politik.

Tapi untuk saat harus karena ada yang salah dengan negara ini. Mau apatis, rasanya kok mengganjal. Mau ganti kewarganegaraan Filipina yak kok sulit amat. Saya juga masih menghirup oksigen di negara ini. Saya juga masih peduli dengan negara ini.

Sama seperti orang kebanyakan, saya juga ingin hidup bahagia sesuai Pancasila dan UUD 1945. Tidak mau banyak campur urusan negara dan manut apa kata pemerintah. Bayar pajak, bayar BPJS, ya pokoknya manut.

Tapi, semuanya berubah sejak beberapa waktu terakhir.

Dimulai dari rencana kenaikan iuran BPJS. Walau dalam hati saya sepakat lantaran jaminan sosial ini sedang bermasalah, tapi kok lama-lama isu yang berkembang -- sepertinya dibenarkan -- kenaikan ini diikuti oleh isu lain yang membuat mengelus dada. Apalagi kalau ada pengerahan ketua RT dan RW untuk menagih warga yang telat atau menunggak iuran ini.

Jelas saya menolak. Pertama, pasti timbul friksi di dalam masyarakat sendiri dan tentunya ada beberapa hal yang membuat langkah ini tidak tepat. 

Meski di beberapa daerah sudah dilakukan terutama untuk kalangan menengah ke atas, pada akhirnya juga akan menimbulkan masalah. Perbaikan pada sistem yang berkelanjutan di dalamnya mutlak dilakukan. Bagaimana caranya?

Ya pikirkan dong. Yang pemerintah siapa coba?

Kedua, kasus kabut asap yang berkepanjangan dan menjadi siksaan bagi saudara dan rekan yang berada di Kalimantan dan Sumatra. Rekan saya sampai sudah bilang mau mati rasanya karena dia punya penyakit asma. Kotanya, Palangkaraya, memiliki indeks kualitas udara buruk yang sebenarnya berbahaya untuk ditinggali.

Di saat saya melihat dan mendengar sendiri curhatan rekan saya melalui telepon, eh tiba-tiba ada kampanye Sawit Baik di media sosial. Dengan cukup massif pula. Lho sek iki opo se?

Ini apa toh?

Kok ya sempat-sempatnya ada kampanye seperti itu. Di saat rekan saya yang sudah megap-megap -- dan bingung harus berbuat apa lagi -- kok ya ada orang yang tidak punya hati nurani berkampanye semacam itu.

Lho itukan sudah direncakan dari dulu dan memang kenyataan dan datanya seperti itu kan ini kan begitu.

Yo jancok koen!

Saya hanya bisa bilang begitu sebagai orang Malang. Entah, kalimat apa lagi yang bisa keluar. Ini lo mereka sudah mau mati dan dari berbagai fakta penyebab kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap ya dari pembukaan perkebunan sawit.

Memang tak semua perusahaan sawit melakukan itu dan saya sangat setuju dengan kampanye baik sawit yang sedang digalakkan pemerintah. Saya sepakat dengan upaya keras agar produk sawit kita tak lagi di-black-list pasar Eropa. Tapi yo mbok sek disek. Tunggu waktu yang tepat.

Tunggu dan perbaiki apa yang salah. Bukan lagi-lagi menjual apa-apa yang baik-baik. Itu namanya  tidak manusiawi karena sebagai manusia kita punya empati. Punya hati nurani yang membedakan kita dengan makhluk hidup lainnya. Enggak apa-apa kampanye sawit asal dengan catatan tadi.

Ketiga, revisi UU KPK yang sudah disahkan menjadikan saya makin apatis. Wis karepmu. Sebagai pemilih anggota DPR 2014 dan 2019 yang partainya tidak lolos ke parlemen, saya cuma bisa bilang itu. Terserah kamu. Bah koen njungkir walik bah koen mbadhog duwik negoro, dan bah koen gulung-gulung ndek lapangan, aku gak ngurus. Saya sudah enggak respect lagi sama semua anggota DPR apapun partainya.

Tapi, saya akhirnya ikut mencak-mencak ketika poin keempat yang membuat saya sakit hati dengan adanya RUU KUHP. Aduh, saya sudah baca seksama dan mencoba menelaah kembali. Sempat mual di awalnya, saya masih mencoba tabayyun -- begitu kata Pak Ustad -- apa iya negara mau dibuat aneh seperti ini.

Membaca dan membaca kok ya benar ya. Kok ya aneh ya. Berdiskusi dengan beberapa rekan yang diantaranya ahli hukum dan begitulah kenyatannya. Salah satu RUU KUHP yang membuat saya ingin memakan orang adalah tentang gelandangan yang akan didenda hingga 1 juta rupiah.

Okelah menurut anggota DPR, pasal ini sebenarnya bersifat restorative justice daripada retributive. Lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Tapi, para gelandangan yang sebagai subyek hukum juga akan menanggung bencana dari pasal semacam ini. Atinya, kalau mereka tertangkap dan harus membayar denda, uangnya dari mana Patricia? Dari Betty la fea?

Haduh, ini yang membuat saya geleng-geleng kepala. Mbok ya dibuat bagaimana biar gelendangan tidak semakin banyak, entah dengan giat operasi dilanjutkan pelatihan atau apa yang jelas itu lebih masuk akal. Belum lagi undang-undang lain seperti penjeratan bagi penyimpan video porno, ayam yang lepas, dan sederet lainnya.

Yang membuat saya geleng-geleng kepala lagi, di tengah kecamuk masyarakat dan adanya demo mahasiswa yang mulai marak, Bapak Wiranto yang tercinta mengeluarkan beberapa pernyataan mengejutkan. Ditambah Bapak Moeldoko juga yang memberikan pernyataan multitafsir seputar KPK penghambat investasi. Ya Allah, saya tak lagi mengelus dada tapi sudah mau mengunyah stepler.

Itu belum seberapa. Masih bisa saya toleransi karena mungkin itu tugas beliau agar negara tetap dalam keadaan stabil. Namun, ketika saya melihat beberapa rekan -- terutama Jokowi Lovers -- memberi sebuah stigma kurang baik dalam gerakan mahasiswa, saya langsung muntap. Alias meledak.

"Kok baru sekarang koar-koar. Kok kayaknya munafik ya katanya dukung Jokowi tapi malah dukung begini. Kok begini lagi kok begitu lagi?"

Sek mbak sek. Sek mas sek. Cangkemu ojok nyocot sak enake pitihik.

Saya manusia sih. Saya punya otak dan hati. Saya tetap dukung Pak Jokowi dan memang beliau masih dan menjadi Presiden hingga 2024. Saya juga tidak setuju dengan tagar #TurunkanJokowi yang sempat naik kemarin. Tapi ya jangan cinta buta gitu lah.

Jangan karena saya dukung Jokowi lalu saya gak boleh kritik. Justru karena saya sayang Jokowi makanya saya kritik beliau karena saat ini ada yang salah. 

Saya sepakat sama Mbak Rieke, anggota DPR dari PDIP yang entah sekarang bersuara atau tidak bahwa ia akan juga mengkritik kebijakan beliau  - Pak Jokowi -- jika ada yang salah di dalam kebijakan itu. 

Dan, bagi saya, kurang tanggapnya beliau dalam menangani kabut asap, persetujuan kepada RUU KPK, dan membiarkan menteri-menterinya mengeluarkan statement yang berbahaya adalah sesuatu yang perlu dikritisi.

Kita cuma mau hidup damai kok pak dan itu semua bisa terjamin jika tak ada lagi kabut asap, koruptor benar-benar ditindak tegas, dan ada pengayoman dari negara kepada warganya. 

Kalau itu semua, dan tentu dengan parameter kehidupan lain bisa terlaksana dengan baik, saya tetap mendukung Pak Jokowi kok. Saya rela membayar pajak, membayar iuran BPJS yang dinaikkan, dan melakukan kegiatan positif dan berkontribusi bagi negara sebisa saya.

Kalau saya boleh jujur, saya sebenarnya terganggu lho dengan adanya demo karena beberapa mahasiswa yang menjadi partner kerja saya di bimbel yang saya kelola juga ikut demo. 

Saya juga ikut kelimpungan akibat adanya aksi ini. Namun, saya kembali mengetuk hati nurani saya, biarlah mereka demo. Biarlah mereka menyampaikan aspirasi rakyat yang telah ditutup oleh anggota DPR.

Mungkin itu saja yang bisa saya tulis di artikel politik yang cukup panjang ini. Selepas ini, saya akan kembali menulis artikel lain seputar pendidikan dan jalan-jalan seusai bidang minat yang saya senangi. Mohon bagi para pembaca untuk mencerna sedikit apay yang saya tulis ini. Berbeda pandangan saya hargai karena tulisan ini tidaklah seobyektif yang saya inginkan karena memang saya manusia biasa.

Sekian.

#HidupMahasiswa

Sumber: Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun