Mencermati polemik PPDB, baik SD, SMP, terutama SMA membuat perhatian saya sejenak teralih kepada beberapa daerah di pinggiran Kota Malang.
Perhatian ini saya berikan kala WAG keluarga membahas beberapa wilayah di Kabupaten Malang yang berbatasan langsung dengan Kota Malang. Ramainya percakapan tersebut membahas mengenai takdir siswa-siswi yang tinggal di beberapa kecamatan tersebut.
Beberapa kecamatan yang dimaksud antara lain Wagir, Pakisaji, Pakis, Dau, Tajinan, dan Karangploso. Dari percakapan yang mengalir, saya baru sadar bahwa seluruh kecamatan tersebut tidak memiliki satupun SMA Negeri di wilayahnya. Padahal, jumlah penduduk di wilayah tersebut cukup padat mengingat merupakan daerah penyangga Kota Malang. Jika diibaratkan, daerah-daerah tersebut seperti Bekasi, Depok, dan Tangerang bagi DKI Jakarta.
Selama beberapa tahun terakhir, banyak masyarakat di sekitar sana menyekolahkan anaknya di sekolah pinggiran Kota Malang. Alasannya, selain tidak adanya sekolah negeri, kualitas sekolah di daerah tersebut tidaklah terlalu baik. Tak hanya itu, jika bersekolah di Kota Malang, mereka seakan hanya berada di wilayahnya yang hanya berjarak 1-2 kilometer saja.
Dengan perkembangan zaman yang semakin maju, dahulu wilayah Sawojajar yang bermula dari persawahan, Â kini rimbun dengan rumah. Jika sudah banyak rumah, berarti akan ada banyak anak sekolah yang memerlukan fasilitas pendidikan.
Sayangnya, di Sawojajar ini, hanya ada satu SMA Negeri yang mampu menampung siswa dari daerah tersebut, yakni SMA Negeri 10 Malang. Pada PPDB tahun sebelumnya, penduduk Sawojajar 2 banyak yang menyekolahkan anaknya di sekolah itu mengingat masih adanya sistem seleksi NUN. Kalaupun tidak diterima di SMA Negeri 10 Malang, biasanya SMA Negeri 6 Malang akan menjadi pilihan kedua meski jaraknya lebih jauh.
Kondisi paling tidak menguntungkan bisa jadi dialami siswa-siswi yang berdomisili di Kecamatan Dau. Kecamatan ini merupakan enklave (daerah kantong) yang terjepit dimantara Kota Malang dan Kota Batu. Kecamatan Dau merupakan seujung wilayah kecil yang terpisah dengan daerah lainnya di Kabupaten Malang.
Mengapa tidak mendaftar di sekolah swasta saja?
Dari data pokok Kemendikbud, di Kecamatan Dau sendiri ada 4 SMAS dan 1 SMKS. Hampir semuanya merupakan sekolah boarding school yang tentu membutuhkan biaya tak sedikit. Pilihan masyarakat pun akhirnya berada pada sekolah swasta yang ada di Kota Malang. Ujung-ujungnya ya kembali ke Kota Malang.
Oh ya, sebagai tambahan informasi lagi, Kecamatan Dau ini merupakan wilayah kampus tempat Menteri Pendidikan pernah mengabdi dulu. Kalaupun zonasi PPDB ditujukan untuk pemerataan pendidikan dan keadilan, Bapak Menteri bisa sejenak membayangkan siswa-siswi yang ada di Kecamatan Dau ini. Atau mungkin, biar lebih adil, siswa di Dau bisa loncat kelas ya, dari SMP ke perguruan tinggi yang ada di kecamatan ini. Kan zonasi. Ah, itu hanya gurauan saja.
Selain itu, dari 33 Kecamatan yang ada di Kabupaten Malang, hanya ada 13 SMA Negeri atau kurang dari 50%. Hampir semua kecamatan yang berbatasan langsung dengan wilayah kota tidak memiliki SMA Negeri seperti yang saya sebutkan tadi. Hanya ada dua kecamatan di wilayah pantai selatan yang memiliki SMA Negeri dari 5 kecamatan yang ada. Padahal wilayah ini amatlah luas.
Jadi, dengan adanya zonasi, ya itulah takdir yang harus diterima dan disyukuri. Sebagai masyarakat biasa kita bisa berbuat apa? Kalau antara setuju dan tidak setuju, saya sendiri setuju sekali dengan sistem zonasi. Asal, beberapa aspek seperti yang saya utarakan tadi bisa menjadi pertimbangan. Membangun sekolah baru atau entah kebijakan lain yang mungkin Bapak Menteri lebih paham. Yang jelas, jangan lupakan daerah Kecamatan Dau lho, Pak.
Sebelum menutup tulisan ini, mungkin ada pertanyaan, mengapa tidak masuk SMA swasta atau SMK saja? Pertanyaan itu kembali kepada hak warga negara untuk mendapat pendidikan yang sama.
Kalau ada yang ingin masuk SMA Negeri dan punya rumah di daerah nanggung tadi apakah salah? Tidak kan? Apakah salah jika ada keinginan untuk mendapat fasilitas baik dan bisa mengembangkan potensi di daerahnya kemudian hari? Â Masih adil kan punya keinginan itu? Apalagi SMA di Jawa Timur kan sekarang gratis.
Sekian, mohon maaf jika ada kesalahan. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H