WAG Keluarga sejak beberapa minggu ini terus ramai membicarakan PPDB.
Ada beberapa keponakan dan sepupu yang pada tahun ini masuk SMP. Maka, seperti tahun-tahun sebelumnya, perbincangan seputar "diterima di SMP Negeri mana" menjadi topik hangat. Namun, pada tahun ini, topik tersebut tidak lagi hangat melainkan panas meski saat ini sedang bulan puasa.
Semua diawali dari aturan baru dalam PPDB SMP Kota Malang tahun ini. Jika pada tahun sebelumnya, sistem penerimaan melalui beberapa jalur, yakni prestasi, masyarakat prasejahtera, zonasi wilayah, dan reguler dengan proporsi yang berimbang, kali ini sistem tersebut diubah secara total.Â
Sebanyak 90% dari siswa yang diterima berasal dari jalur zonasi. Sisanya, berasal dari jalur prestasi dan masyarakat prasejahtera.
Sebelum PPDB, berbagai pertanyaan muncul. Mengapa PPDB Kota Malang dilaksanakan begitu cepat? Padahal, kota-kota lain baru menggelar PPDB pada bulan Juni selepas Idulfitri. Mengapa tidak ada syarat nilai USBN dan rapor seperti PPDB tahun sebelumnya? Mengapa semuanya terkesan tergesa-gesa?
Pertanyaan ini tak segera terjawab hingga kegiatan PPDB dimulai pada 13-15 Mei kemarin. Saat pelaksanaan PPDB, benar saja, segala pertanyaan itu akhirnya terjawab dengan kekisruhan pada hari H pendaftaran.
Sebuah postingan dari FP Komunitas Peduli Malang Raya memperlihatkan membludaknya para pendaftar di SMP Negeri 21 Malang. Ratusan, mungkin ribuan calon wali murid dan siswa mengular antre hingga ke jalan raya di sekolah tersebut. Sesuatu, yang hanya pada tahun ini terjadi. Salah satu SMP Negeri favorit di Kota Malang tersebut dihajar oleh siswa yang kebanyakan berasal dari Kecamatan Kedungkandang.
Melihat kiriman itu, saya jadi bertanya, mengapa tidak mendaftar di SMP lain asal masih dalam satu rayon? Jawabannya ternyata membuat saya tecengang.
Sebanyak 90% calon siswa yang diterima pada tahun ini didasarkan pada 2 hal. Pertama, jarak terdekat sekolah dari rumah calon siswa yang ditarik dari sistem koordinat.Â
Kedua, jika jarak dua atau beberapa siswa sama dari sekolah, maka yang menentukan diterima atau tidaknya adalah siapa yang lebih dulu mendaftarkan diri. Siapa cepat dia dapat. Siapa yang bisa "menginap" di dekat sekolah, maka ia akan diterima. Jika boleh disarkaskan seperti itu.
Bagaimana dengan nilai? Bagaimana dengan usia? Dan bagaimana dengan parameter lain? Tidak ada yang bisa dijadikan pertimbangan selain jarak dan siapa dulu yang mendaftar.
Bisa ditebak, yang terjadi demikian adalah PPDB Kota Malang layaknya membeli tiket konser Westlife. Atau, membeli tiket mudik lebaran. Semua begitu ingin cepat bisa dilayani sehingga berakibat pada penumpukan pendaftar, terutama di sekolah yang selama ini masih dianggap sekolah favorit.
Keruwetan ditambah dengan macetnya server PPDB yang mengakibatkan beberapa calon siswa, yang sedari pagi antre untuk bisa dimasukkan datanya harus gigit jari menunggu keesokan harinya. Pelik yang mereka alami semakin bertambah dengan kurang jelasnya informasi yang mereka dapat, baik dari Diknas, maupun petugas sekolah sendiri.Â
Kesalahan dalam menentukan SMP Negeri pun terus terjadi. Siswa yang semestinya memprioritaskan mendaftar di sekolah A karena lebih dekat akhirnya mendaftar di sekolah B. Saat terjadi ranking dari jarak dam waktu pendaftaran, akhirnya siswa tersebut tidak diterima di sekolah manapun.
Macetnya server PPDB ini juga berimbas kepada tidak lancarnya pengecekan siapa saja yang masih berada pada SMP Negeri yang dituju. Tak seperti tahun lalu yang secara real time bisa menunjukkan nama-nama tersebut, kini web PPDB sering down. Banyak calon siswa dan wali murid yang was-was.
Yang menjadi banyak polemik selanjutnya adalah masalah jarak. Melihat kondisi di lapangan, ada beberapa wilayah di Kota Malang yang cukup jauh dari seluruh SMP Negeri yang ada. Polehan, Kebonsari, dan Gadang adalah beberapa diantaranya. Seluruh lulusan SD Negeri yang berdomisili di tiga kelurahan itu gagal masuk satupun SMP Negeri di Kota Malang.
Penyebab utamanya, mereka telah kalah jarak terdekat dengan siswa dari kelurahan lain. Polehan misalnya yang berada dalam zona II (SMP Negeri 2, 9, dan 19) berada sangat jauh dari sekolah-sekolah tersebut. Maka, ketika siswa yang tinggal di Polehan mendaftarkan diri ke sekolah tersebut, sepagi dan se-hetic apapun, ia akan terlempar dengan siswa lain yang berasal dari kelurahan yang lebih dekat.
Beberapa diantaranya adalah Sukoharjo, Kotalama, dan Kasin. Padahal, tiga wilayah tersebut memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Artinya, saat tiga sekolah tersebut akan dihantam siswa-siswi dari ketiga kelurahan itu, sistem akan otomatis menolak siswa dari Polehan. Berapapun nilai yang mereka dapat dan sepagi apapun mereka mendaftar. Â Â
Kondisi ini juga dikeluhkan siswa dari Kebonsari dan Gadang, dua kelurahan di pinggiran Kota Malang. Jarak kedua keluarahan ini cukup jauh dari 27 Â SMP Negeri yang ada. Kala siswa-siswi yang begitu berharap bisa masuk SMP Negeri dari ketiga kelurahan itu, mereka hanya bisa bermimpi saja. Akhirnya, Gedung DPRD Kota Malang penuh dengan wali murid dan siswa dari kelurahan-kelurahan tersebut.
Selepas pengumuman PPDB, mereka langsung memprotes sistem zonasi yang sangat merugikan. Kini, seluruh siswa di kelurahan-kelurahan tersebut bingung akan bersekolah di mana. Padahal, mereka juga berhak untuk mendapatkan pendidikan di SMP Negeri secara gratis.
Penentuan jarak sekolah ke rumah calon siswa juga menimbulkan polemik. Beberapa wali murid mengunggah, foto dua rumah yang bersebelahan dan sama-sama ditinggali oleh siswa yang masuk akan masuk SMP, jarak yang tercetak di formulir pendaftaran berbeda jauh.Â
Perbedaan jarak yang seharusnya 5 meter bisa menjadi 1 km. Lantas, yang terjadi kemudian, ketika dua calon siswa tersebut mendaftar di SMP Negeri yang sama, maka ada yang diterima dan ada yang tidak. Pertanyaannya, apakah ini adil?
Pertanyaan ini semakin menyeruak kala saya melihat bukti pendaftaran dari Rafi, sepupu saya yang mendaftar di SMP Negeri 8 Malang. Di situ tercetak jarak sekitar 700 m dari sekolah. Lantas, saya membandingkan dengan peta di google map yang kurang lebih 2,3 km.
 Jikalau jarak tersebut ditarik garis lurus antara sekolah ke rumah, maka masih mendapatkan angka 1,5 km. Lantas, dari mana angka 700 meter tersebut? Pertanyaan besar inilah yang tidak bisa dijawab dan menjadi pemicu ketidakrelaan banyak calon wali murid.
Saya mengerti, sistem PPDB yang kini berubah bertujuan baik agar pendidikan di Kota Malang bisa merata. Sekolah negeri tidak hanya untuk siswa pintar saja dan dengan adanya sistem zonasi membuat tingkat kemacetan di Kota Malang yang selama ini disumbang dari anak sekolah bisa ditekan. Sistem ini juga mengacu pada peraturan Mendikbud.
Namun, jika proses yang dilaksanakan tidak dipersiapkan dengan baik, tidak melihat pemetaan sebaran siswa, dan ada unsur ketidakadilan di dalamnya, sistem baik tersebut akan amburadul. Saya membayangkan menjadi siswa Kelas 6 yang begitu mengidamkan masuk di SMP Negeri. Saya belajar dengan giat dan menuruti segala nasehat guru serta orang tua.
Ketika PPDB berlangsung, nama saya tak bisa masuk lantaran rumah saya yang jauh dari SMP Negeri manapun. Saya dengan mudahnya dikalahkan oleh siswa yang notabene kurang niat belajar namun rumahnya dekat dengan sekolah. Kala saya ingin masuk ke SMP swasta yang bagus, hampir semuanya telah tutup pendaftarannya.
Jika adapun, SMP swasta yang ada harganya cukup mahal. Orang tua saya tidaklah mampu. Akhirnya, saya harus masuk SMP swasta dengan kualitas kurang baik dan mempertaruhkan 3 tahun masa SMP saya dengan kondisi belajar yang kurang mendukung. Untuk para pengambil kebijakan, apakah bisa menerima keadaan ini jika terjadi pada putra-putri Anda?
Sekian, mohon maaf jika ada kesalahan.
PS: Situs PPDB Kota Malang  (http://ppdb.dispendik.id/) sudah tidak bisa diakses. Padahal, dari tahun sebelumnya, situs PPDB masih bisa diakses setelah penutupan pendaftaran. Entah, mengapa semuanya benar-benar begitu gelap.
Sumber:Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H