Kondisi ini juga dikeluhkan siswa dari Kebonsari dan Gadang, dua kelurahan di pinggiran Kota Malang. Jarak kedua keluarahan ini cukup jauh dari 27 Â SMP Negeri yang ada. Kala siswa-siswi yang begitu berharap bisa masuk SMP Negeri dari ketiga kelurahan itu, mereka hanya bisa bermimpi saja. Akhirnya, Gedung DPRD Kota Malang penuh dengan wali murid dan siswa dari kelurahan-kelurahan tersebut.
Selepas pengumuman PPDB, mereka langsung memprotes sistem zonasi yang sangat merugikan. Kini, seluruh siswa di kelurahan-kelurahan tersebut bingung akan bersekolah di mana. Padahal, mereka juga berhak untuk mendapatkan pendidikan di SMP Negeri secara gratis.
Penentuan jarak sekolah ke rumah calon siswa juga menimbulkan polemik. Beberapa wali murid mengunggah, foto dua rumah yang bersebelahan dan sama-sama ditinggali oleh siswa yang masuk akan masuk SMP, jarak yang tercetak di formulir pendaftaran berbeda jauh.Â
Perbedaan jarak yang seharusnya 5 meter bisa menjadi 1 km. Lantas, yang terjadi kemudian, ketika dua calon siswa tersebut mendaftar di SMP Negeri yang sama, maka ada yang diterima dan ada yang tidak. Pertanyaannya, apakah ini adil?
Pertanyaan ini semakin menyeruak kala saya melihat bukti pendaftaran dari Rafi, sepupu saya yang mendaftar di SMP Negeri 8 Malang. Di situ tercetak jarak sekitar 700 m dari sekolah. Lantas, saya membandingkan dengan peta di google map yang kurang lebih 2,3 km.
 Jikalau jarak tersebut ditarik garis lurus antara sekolah ke rumah, maka masih mendapatkan angka 1,5 km. Lantas, dari mana angka 700 meter tersebut? Pertanyaan besar inilah yang tidak bisa dijawab dan menjadi pemicu ketidakrelaan banyak calon wali murid.
Saya mengerti, sistem PPDB yang kini berubah bertujuan baik agar pendidikan di Kota Malang bisa merata. Sekolah negeri tidak hanya untuk siswa pintar saja dan dengan adanya sistem zonasi membuat tingkat kemacetan di Kota Malang yang selama ini disumbang dari anak sekolah bisa ditekan. Sistem ini juga mengacu pada peraturan Mendikbud.
Namun, jika proses yang dilaksanakan tidak dipersiapkan dengan baik, tidak melihat pemetaan sebaran siswa, dan ada unsur ketidakadilan di dalamnya, sistem baik tersebut akan amburadul. Saya membayangkan menjadi siswa Kelas 6 yang begitu mengidamkan masuk di SMP Negeri. Saya belajar dengan giat dan menuruti segala nasehat guru serta orang tua.
Ketika PPDB berlangsung, nama saya tak bisa masuk lantaran rumah saya yang jauh dari SMP Negeri manapun. Saya dengan mudahnya dikalahkan oleh siswa yang notabene kurang niat belajar namun rumahnya dekat dengan sekolah. Kala saya ingin masuk ke SMP swasta yang bagus, hampir semuanya telah tutup pendaftarannya.