Ternyata, setelah mendalami beberapa realita yang terjadi, saya berpendapat bahwa semua bermula pada ego untuk tampil lebih baik. Media sosial yang membuat segalanya lebih buruk menjadi sumbu yang membarakan ego tersebut. Teman yang dulu pemalu pun kini tak sungkan memberikan dukungan terang-terangan dan menghujat teman lain yang beda pilihan.
Ketika mengunggulkan salah satu capres, bagi mereka adalah kesempurnaan hidup. Ketika itu pula, mereka bisa menganologikan hidup mereka "berhasil". Dan, ketika bisa menemukan kelemahan capres lain, mereka seakan menganggap orang yang mengikuti capres tersebut adalah "gagal".Â
Lucunya, mereka kadang juga menganggap, orang yang memilih netral atau malah golput adalah "pecundang yang sesungguhnya". Lantas, ke mana saya, dan yang tak ingin masuk dalam hiruk pikuk politik ini yang secara terang-terangan bisa damai sejahtera?
Kadang, saya heran, apa yang ada di pikiran para pembela capres. Apa enaknya hidup dengan suasana tak kondusif dengan teman dan mendapat musuh-musuh baru setiap hari.Â
Apa enaknya setiap hari melihat linimasa yang membuat adrenalin bertambah, menumpulkan pikiran, dan menghabiskan kuota. Padahal, ada banyak kegiatan yang seharusnya kita lakukan untuk bisa tetap bertahan hidup apapun capresnya.
Bisa jadi, sebenarnya, dengan tetap kukuh membela capres idola dan menjelekkan capres lain, orang tersebut tidak menghargai dirinya sendiri. Ketika Tuhan menciptakan dirinya yang begitu sempurna namun dirusak dengan perilaku negatif, sesungguhnya dia juga tidak mengamalkan sila pertama pancasila tentang ketuhanan. Tentang menghargai ciptaan Tuhan termasuk diri sendiri. Bukankah lebih baik waktu, tenaga, dan pikiran digunakan untuk kebermanfaatan bersama?
Jikalau tak puas dengan hasil ataupun siapapun yang akan jadi presiden, ada banyak cara yang bisa dilakukan. Melalui anggota legislatif yang duduk di parlemen, kita bisa melakukannya.Â
Namun, jika legislatif yang duduk nanti tidak bisa mewakili apa yang diharapkan, sesungguhnya semua bermuara kepada habisnya waktu untuk membela capres dan bukan melihat rekam jejak calon anggota legislatif. Menyesal? Sudah terlambat.
Menyadari banyak kerugian dari bela-belaan capres, jika mau merenung lagi, coba lihat nilai pelajaran PKn, PPKn, ataupun PMP. Kalau nilai yang kita raih cukup memuaskan dan lini masa kita masih penuh cacian kepada capres, rasanya nilai itu adalah kemunafikan.
Mau mengulang pelajaran-pelajaran itu lagi?