Pelajaran mengenai pengamalan sila-sila pancasila adalah pelajaran yang diulang dari bangku kelas 1 SD sampai kelas XII SMA atau bahkan matakuliah wajib saat di perguruan tinggi.
Terlebih, pengamalan sila ketiga yang dilambangkan dengan pohon beringin begitu masif dan berulang diajarkan. Ketika ulangan tiba, baik ulangan harian maupun ujian semester, pengamalan sila-sila pancasila menjadi salah satu kompetensi dasar yang bisa jadi hampir seluruh siswa bisa mengerjakannya dengan baik.
Ini tidak sesulit menghitung persamaan linear dengan variabel pada matematika. Atau, menghitung perbesaran bayangan dari hasil pencerminan di cermin cekung. Dan tak sesulit menghitung panjang ikatan kovalen pada pelajaran kimia. Sayang, pada praktiknya, nilai pengamalan sila pancasila jauh lebih sulit dari yang dibayangkan.
Jika ada ujian praktik mengenai pengalamalan nilai pancasila, bisa jadi, hampir seluruh siswa, terutama yang sekarang beranjak dewasa harus melakukan remidi. Tidak perlu banyak parameter, apa yang diunggah dalam media sosial akhir-akhir ini adalah buktinya.
Kebencian, tudingan tanpa dasar, kebohongan, dan segala keburukan untuk mengunggulkan calon presiden pilihannya adalah salah satu buktinya. Rasanya, jawaban "saling menghargai dan saling menghormati" ketika ditulis pada jawaban ujian dulu hanya sebuah utopia. Tanpa makna dan sia-sia. Nilai 9 atau bahkan 10 untuk mata pelajaran PMP, PPKn, ataupun PKn hanyalah hoaks belaka.
Tak melulu pengamalan sila ketiga, pengamalan sila keempat juga setali tiga uang. Jawaban "menghargai keputusan bersama" ketika ada pertanyaan "apa sikap yang baik dalam musyawarah" terdengar garing. Seperti suara jangkrik yang mulai terdengar di permulaan musim kemarau ini.
Juga, jawaban singkat "lapang dada" dalam pertanyaan "apa sikap yang dilakukan ketika kalah dalam pertandingan" pun serasa munafik. Padahal, dari tangan orang-orang yang kini belum bisa menerima kekalahan dengan lapang dada, jawaban tersebut terasa mudah dituliskan. Yang penting, menyalahkan orang lain dengan kalimat "curang". Yang penting, capres saya menang.
Berlanjut, jawaban "akan timbul kekacauan" dari jawaban pertanyaan "apa yang terjadi jika persatuan dan kesatuan tidak terjadi di masyarakat" seakan menjadi kenyataan. Padahal, ketika menjawab pertanyaan ini, di pikiran siswa yang menjawabnya, termasuk kita semua, jawaban itu adalah hal yang mustahil terjadi. Lantas, apa yang terjadi kini?
Pertanyaan dan jawaban dari pelajaran "paling mudah" tersebut setidaknya adalah beberapa realita semu bangsa ini. Realita pendidikan yang ternyata tak berdampak pada kehidupan sesorang ketika dewasa. Bukan pendidikan yang menghasilkan skill yang dimaksud, namun pendidikan budi pekerti dan karakter yang nyaris nihil hasil.
Setiap hari, saya menyaksikan teman-teman sekolah yang dulu seiya sekata menjawab pertanyaan pelajaran PPKn, kini saling menghujat. Meski beberapa kali guru kami pernah melakukan penilaian debat, namun saat itu, kami sepakat bahwa jawaban-jawaban pada beberapa poin pertanyaan. Terutama, jawaban "saling menghormati" dan "saling menghargai".