Beralih ke nomor kereta selanjutnya, suasana sepi langsung tergambar. Tak semua kursi terisi. Jika dihitung secara kasar, mungkin hanya sekitar 35 hingga 40 persen kursi-kursi itu ditempati penumpang. Sisanya, tak berpenghuni.
Menurut salah seorang penglaju kedua kota satelit ini, memang KA Jenggala tak seramai KA lokal lain yang melintasi Daerah Operasi 7 dan 8, seperti Penataran, Rapih Dhoho, Komuter Surabaya Porong (Supor), KRD Kertosono, dan KRD Bojonegoro.Â
Salah satu alasannya, jadwal kereta api yang tidak pas dengan kegiatan para pekerja yang hilir mudik antara kedua kota itu. Para pekerja di daerah tersebut juga lebih memilih menaiki kendaraan pribadi. Keramaian baru terasa ketika akhir pekan ataupun libur panjang.
Lambat laun, KA Jenggala lebih berfungsi sebagai kereta wisata. Di dalam kereta, anak-anak belajar bagaimana cara mengantre untuk naik dan turun dari kereta.Â
Bagaimana mereka meletakkan barang bawaan, menyiapkan tiket untuk diperiksa oleh petugas kereta, hingga mempelajari lingkungan di sekitar Jalur Tarik-Sidoarjo. Mereka pun juga bisa belajar bagaimana KRDI dijalankan dengan konsep berbeda seperti pada kereta diesel lain.
Nyatanya, meski lebih banyak berfungsi sebagai KA wisata, kereta ini juga masih memiliki kelamahan. Bisa dikatakan cukup fatal. Pintu kereta otomatis yang seharusnya menutup sebelum kereta berjalan tak bisa berfungsi dengan baik.Â
Akibatnya, masinis kereta atau petugas kereta lain harus bersusah payah menutup pintu saat kereta sudah berjalan. Tentu, kondisi ini cukup membahayakan. Mengingat, banyak anak-anak TK dengan tingkah polah bermain ke sana ke mari bisa jadi akan mendekati pintu kereta.
Belum lagi, peron di beberapa stasiun berada pada posisi yang cukup tinggi. Salah satunya adalah peron di Stasiun Tulangan. Stasiun yang baru dibangun kembali setelah lama tak aktif ini memiliki peron yang cukup tinggi.Â