Sidoarjo dan Mojokerto adalah dua kota satelit Surabaya yang sangat penting.
Mirisnya,saya tidak pernah mengunjungi dua kota itu barang sekalipun. Kalaupun pernah, dua kota itu mendapat status HL dari saya. Hanya Lewat. Kecamatan-kecamatan dengan keramaian signifikan diantara kedua kota itulah yang pernah saya singgahi.Â
Sebut saja Waru Sidoarjo tempat bersemayamnya Terminal Bus Bungurasih atau Ngoro, kawasan industri Mojokerto yang menyimpan aneka candi.
Saya belum menemukan sesuatu yang bisa menarik minat untuk mengunjungi dua kota ini. Keduanya juga tidak ramah terhadap angkutan jalan raya.Â
Untuk ke Sidoarjo dari Malang, saya harus berpindah bus dari Porong ataupun Bangil Pasuruan. Kereta Api Penataran memang singgah di Sidoarjo. Namun, itu belum cukup untuk membuatnya menarik.
Demikian pula Mojokerto. Tak ada satupun moda transportasi langsung menuju kota ini dari Malang. Untuk mencapai tanah bekas ibu kota Kerajaan Majapahit ini, saya harus naik bus menuju Kejapanan, Pasuruan, tanah kelahiran biduan Inul Dararista dan beralih ke bus kuning tujuan Mojokerto.Â
Kalaupun mau, saya harus melewati Jalur Cangar-Pacet dari arah Kota Wisata Batu dengan medan menanjak dan kemiringan yang mengerikan. Suatu hal yang mustahil saya lakukan.
Keinginan semu ini akhirnya menjadi nyata tatkala PT KAI meluncurkan program pembelian tiket KA lokal secara daring. Saya melihat ada salah satu Kereta Api Lokal dari Sidoarjo menuju Mojokerto dan sebaliknya yang melayani penumpang setiap harinya. Kereta ini bernama Jenggala. Berbeda dengan Kereta Api Penataran, KA Jenggala merupakan KRDI alias kereta rel diesel.
Kereta ini tidak memiliki ritual berganti posisi lokomotif di Stasiun Surabaya Gubeng/Surabaya Kota seperti kebanyakan kereta api lain. KA Jenggala merupakan kereta rel diesel perintis milik Kemenhub.Â
Lokomotif berada di sisi depan dan belakang. Artinya, jika kereta ini berjalan dengan rute yang berlawanan, maka masinis hanya perlu berganti loko yang berada pada sisi lainnya.