Rekan-rekan guru honorer di tempat saya mengajar dulu wadul ke saya mengenai keberadaan sampah yang menggunung di halaman sekolah.
Foto-foto yang dikirim kepada saya memperlihatkan bagaimana sampah-sampah tersebut menggunung dengan indahnya. Tak hanya satu, namun lebih dari tiga tong sampah yang terlihat penuh bahkan meluber hingga berceceran di halaman sekolah.
Kondisi diperparah dengan keberadaan siswa-siswi yang bermain di sekitar halaman sekolah tersebut. Mereka seakan tak peduli dengan keberadaan tumpukan sampah yang menggunung tersebut.
Bahkan, dari potret yang ada, mereka terlihat seperti sedang bermain di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah.
Sejak kapan dan mengapa sampah-sampah ini bisa begitu banyak memenuhi halaman sekolah?
Jika Anda membaca beberapa tulisan saya sebelumnya, sekolah tempat saya mengajar dulu dipimpin oleh seorang Kepala Sekolah yang bermasalah.
Ia begitu otortiter dan melaksanakan kebijakan yang aneh dan kadang tak masuk akal. Keberadaannya sempat ditentang oleh banyak wali murid.
Surat protes kepada pengawas sekolah sempat saya tulis dan mendapat jawaban berupa rencana mutasi sang Kepala Sekolah. Kisah selengkapnya bisa dibaca di sini.
Namun, hingga kini, tak ada kabar lagi mengenai proses mutasi tersebut. Yang ada, sang KS bermasalah tetap duduk nyaman pada posisinya dan bisa leluasa melakukan kegiatan apapun yang ia suka. Salah satunya yakni mengenai tidak dibayarnya uang sampah sekolah.
Uang atau iuran ini merupakan pengeluaran rutin bulanan yang harus dikeluarkan oleh sekolah. Sama halnya dengan rekening listrik, telepon, air, dan internet, sekolah harus menganggarkan iuran sampah ini setiap bulan. Di dalam juknis Bantuan Operasional Sekolah, iuran sampah juga mejadi salah satu komponen pembiayaan langganan daya dan jasa.
Artinya, sampah yang dihasilkan sekolah harus diangkut keluar sekolah meski usaha untuk meminimalisasi adanya sampah itu juga harus terus dilakukan.