"Tapi ya harus semangat dong. SMK kan bisa!"
Bukan munafik, saya juga harus tetap menjaga motivasi. Waktu persiapan hanya boleh dua bulan. Tapi semangat tak boleh kendur. Tagline SMK, yang harus bisa beradaptasi dalam berbagai hal juga harus dijaga.
Walau harus diakui, perjuangan selama hampir satu bulan ini cukup melelahkan. Strategi pun harus diatur. Saya akhirnya berfokus pada materi dan soal yang memiliki tingkat kesulitan rendah dan sedang. Untuk soal dengan kesulitan tinggi, apalagi soal HOTS saya lewati dulu.
Berkaca pada hasil try out pertama yang mereka lakukan yakni semua siswa bimbingan saya tidak lulus menjadi pembelajaran. Memaksakan materi yang sulit dengan waktu dekat ini untuk bisa mereka pahami bukanlah langkah tepat. Materi pengulangan di SMP pun banyak yang masih belum bisa. Belum lagi, pembelajaran di kelas juga belum bisa mendukung agar mereka menyerap materi dengan maksimal.
Guru-guru mereka di sekolah bahkan meminta mereka mengunduh aplikasi di ponsel pintar berisi latihan soal yang harus dikerjakan dengan waktu tertentu. Sayangnya, setelah selesai mengerjakan soal, tak ada pembahasan soal yang bisa dipelajari. Aplikasi tersebut hanya memuat kunci jawaban dari soal yang mereka kerjakan. Tentu, hal ini cukup menyulitkan mereka apalagi jika ada latihan soal yang dijadikan pekerjaan rumah. Bagaimana mereka bisa memahami materi yang akan diujikan?
Dari penuturan beberapa dari mereka, ada satu hal yang cukup menarik perhatian. Banyak di antara mereka yang kelimpungan mencari bimbingan belajar untuk persiapan UN ini. Bimbel yang ada hanya tinggal bimbel mahal yang biasanya dipenuhi anak-anak SMA yang akan fokus ke UN, SBMPTN atau ujian masuk khusus beberapa PTN.
Sementara, bimbel-bimbel murah meriah semacam saya sudah banyak siswa yang mengikuti bimbingan. Penolakan pun sering mereka dapat kala ingin mendaftar. Jadinya, ketika mereka membawa satu dua teman mereka untuk belajar, walau sebenarnya sudah di luar batas kemampuan saya, rasanya kok kasihan kalau menolaknya. Mereka juga punya keinginan belajar yang kuat kan?
Di sisi lain, dari penuturan mereka, banyak dari rekan-rekan mereka yang akhirnya pasrah saja. Nantinya mereka juga akan bekerja seusai lulus. Lantas, untuk apa belajar matematika? Yang penting kan lulus. Walau miris, pemikiran semacam ini juga perlu menjadi hal yang patut direnungkan.
Makanya, ketika ada sedikit saja perkembangan dari siswa bimbingan saya, rasanya saya ikut senang. Pada try out kedua, mereka berhasil mendapat nilai di atas 6. Meski tak ada yang mendapat nilai lebih dari 7, rasanya itu sudah membahagiakan.Â
Jadi, ketika beberapa dari mereka berniat akan ikut SBMPTN, saya pun harus mulai memasang strategi lagi. Semoga niat baik mereka untuk belajar pada bangku kuliah bisa terwujud. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H