Kampung ini sebenarnya tak berbeda dengan kampung lain. Pada bagian depan kampung, ada sebuah rumah yang konon terdapat sebuah sumur yang diduga adalah sumur legenda Banyuwangi.Â
Untuk melihat sumur ini, pengunjung harus meminta izin kepada pemilik rumah agar membukakan pintu rumah. Mengingat, keberadaan sumur ini berada di bagian belakang rumah tersebut.
Saya tak berminat untuk melihat sumur itu. Rekan saya menjanjikan akan mengajak saya mengunjungi pendopo Bupati Banyuwangi keesokan harinya. Di sana, akan ada sumur yang juga diduga sumur Legenda Banyuwangi.
Saya pun kembali melangkahkan kaki masuk ke bagian dalam kampung sambil menyeruput air mineral akibat haus yang tak tertahankan. Semakin ke dalam, saya semakin banyak menemukan rumah-rumah kuno yang dicat dengan motif tertentu. Rata-rata, motif bunga dan kupu-kupu mendominasi hiasan dinding rumah-rumah tersebut.
Justru dengan pudarnya warna cat di kampung itu semakin membuat saya merasa dalam time machine. Merasakan suasana jadul, tempo dulu, dan kembali ke masa kejayaan seniman banyuwangi dalam berkarya seni.
Ia begitu spontan, tanpa ragu dan lantas berlari menjauhi saya setelah apa yang ia atraksikan berhasil. Sejenak, saya tersenyum puas. Momen tak terduga itu benar-benar langka. Sayang, sebuah foto calon anggota legislatif cukup menganggu pemandangan. Lagi-lagi, saya semakin berpikir kalau kesenian memang tak bisa dipisahkan dari politik. Dan itu terjadi lagi di Kawitan.
Spontanitas dalam berkarya seni, kemampuan mereka menggubah karya lagu begitu termasyhur. Dan, M. Arif, dengan lagu Genjer-genjernya adalah salah satunya.
Kala ia melihat penderitaan rakyat akibat penjajahan Jepang, maka lagu Genjer-genjer pun tercipta. Sama halnya dengan ketika rasa galau melanda, maka lagu Lungset, yang merupakan gubahan dari sebuah lagu Mandarin pun membahana se-Indonesia Raya.Â