Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Memagari Jawa dari Jalur Pedestriannya

23 Januari 2019   10:02 Diperbarui: 23 Januari 2019   14:58 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tak banyak pedestrian yang dimanfaatkan di Kota Kediri karena warganya tak begitu suka berjalan kaki. - Dokpri.

Apa yang membuat saya tertarik mengunjungi sebuah kota, terutama kota-kota di Pulau Jawa?

Jawaban pertama adalah jalur pedestriannya. Jalur khusus bagi pejalan kaki itulah yang akan saya jadikan acuan sebuah kota layak dikunjungi atau tidak. Sebagai pelancong yang memiliki sedikit dana untuk jalan-jalan, berjalan kaki adalah salah satu cara terbaik untuk menjangkau tempat-tempat wisata yang saya tuju.

Sayangnya, kota-kota di Jawa ternyata tak semuanya memiliki jalur pedestrian yang baik dan ramah. Kalaupun ada, saya hanya menemukan jalur pedestrian yang bisa dikatakan layak di sekitar pusat pemerintahan. Alun-alun, kantor bupati/wali kota, dan kompleks militer. 

Selebihnya, saya harus memilih menggunakan ojek daring untuk menjangkau tempat-tempat yang saya tuju mengingat bahaya yang mengancam. Terlebih, saat saya menjangkau sentra ekonomi perkotaan, jalur pedestrian adalah hal mewah. Di sepanjang daerah itu, kehadiran Pedagang Kaki Lima di sepanjang trotoar adalah rapor merah yang saya berikan mengenai kota tersebut.

Bermula dari Jakarta, kota sekaligus provinsi yang pedestriannya sering digunakan sebagai komoditas politik, saya mengawali penjelajahan. Beberapa kali mengunjungi Jakarta, saya memang menemukan perubahan yang lebih baik dalam penataannya. Jalur pedestrian di jalan-jalan protokol tampak menawan dengan beberapa hiasan pernak-pernik Asian Games 2018.

Sayang, Jakarta juga masih menyisakan ruang gelap bagi para pejakan kaki, terutama trotoar yang berada di persimpangan jalan. Seperti, yang saya dapat ketika ingin melihat Patung Pancoran dari dekat. 

Di persimpangan Jalan Gatot Subroto dan Jalan Prof. Dr. Soepomo, trotor nyaman yang saya dapat ketika melintas di depan Graha Mustika Ratu tiba-tiba saja lenyap. Beralih kepada jalan semen dengan lubang yang cukup besar. Jarak antara pengendara kendaraan dan pejalan kaki tiba-tiba saja semakin sempit. Saya pun takut untuk meneruskan perjalanan dan berputar balik untuk memesan moda transportasi favorit saya, ojek daring.

Masih banyak trotoar di Jakarta yang butuh pembenahan. - Dokpri
Masih banyak trotoar di Jakarta yang butuh pembenahan. - Dokpri
Beralih ke Bandung, kota ini memang cukup niat dalam menata jalur pedestriannya. Sang Mantan Wali Kota, Kang Emil memang dikenal sebagai sosok yang benar-benar all out dalam menata kotanya. Taman-taman kota yang terintegrasi dengan jalur pedestrian benar-benar dimaksimalkan. 

Walau masih ada beberapa bagian yang menyisakan beberapa ruang gelap bagi pejalan kaki, Bandung masih menjadi jawara di hati saya. Teras Cihampelas menjadi salah satu karya besar dalam sejarah pedestrian di Indonesia. Saat para pejalan kaki dijadikan raja yang memiliki kuasa di jalan. Bukan kaum pinggiran yang semakin tersisihkan.

Bandung memang juara masalah pedestrian, namun bukan berarti tak butuh sentuhan lagi. - Dokpri
Bandung memang juara masalah pedestrian, namun bukan berarti tak butuh sentuhan lagi. - Dokpri
Kaum yang tak mendapat haknya dengan nyaman seperti yang saya dapat di Cirebon. Ya, kota ini bagi saya adalah kota yang paling tidak ramah bagi pejalan kaki. Tak banyak jalur pedestrian yang bisa saya manfaatkan di kota udang ini. Bahkan, di sekitar Alun-alun Kejaksan, saya malah hampir terserempet motor ketika akan makan malam di sebuah warung Nasi Jamblang.

Tak sekedar sempit, banyak trotoar yang diselimuti para PKL, ojek daring, dan beberapa tukang becak. Belum lagi kondisi Kota Cirebon yang panas dan berangin membuat berjalan kaki adalah kegiatan yang cukup mustahil dilakukan di kota ini. Untunglah, dari beberapa media daring, usaha untuk menata jalur pedestrian di Kota Cirebon mulai digalakkan.

Sebenarnya tak begitu nyaman berjalan kaki di Kota Cirebon. - Dokpri
Sebenarnya tak begitu nyaman berjalan kaki di Kota Cirebon. - Dokpri
Sama dengan penggalakan usaha berjalan kaki dan dan menaiki transportasi umum yang dilakukan oleh Kota Semarang. Mempercantik jalur pedestrian sembari meningkatkan fasilitas BRT Trans Semarang yang beririsan dengan Trans Jateng semakin gencar dilakukan. 

Dengan penambahan fasilitas umum tersebut, masyarakat Semarang diharapkan akan beralih untuk berjalan kaki. Bus-bus Trans Jateng dan Trans Semarang pun datang tepat waktu di haltenya masing-masing. Aneka pernak-pernik bagi pejalan kaki juga disiapkan. Beberapa taman gantung mini dibuat agar para pejalan tak kepanasan.

Sayang, keberadaan halte BRT malah menjadi pengganggu. Ketika pejalan kaki mulai nyaman berjalan beberapa meter dan menikmati perjalanannya, halte BRT sudah siap menghadang. 

Pilihan bagi pejalan kaki hanya ada 2. Masuk ke halte BRT dengan menaiki tangga atau minggir ke bahu jalan dengan risiko kendaraan yang melaju dengan kecepatan setan siap menerjang. Kenyamanan bagi pejalan kaki pun akhirnya menjadi sesuatu hal yang semu.

Terkadang, pejalan kaki harus berhati-hati dengan halte BRT Trans Semarang yang menghadang. - Dokpri.
Terkadang, pejalan kaki harus berhati-hati dengan halte BRT Trans Semarang yang menghadang. - Dokpri.
Sama semunya dengan apa yang ada di "kota semu" Purwokerto. Kota semu yang masih bagian dari Kabupaten Banyumas ini memang memiliki pedestrian yang cukup nyaman, terutama di daerah pusat pemerintahan. 

Sementara, di sentra ekonomi dan daerah pinggiran kota semu ini, pedestrian yang ada benar-benar mengerikan. Sangat dekat dengan bahu jalan. Pejalan kali seakan harus membawa spion jika berjalan di kota yang banyak tergambar simbol-simbor Bawor ini.

Sebagai kota yang semakin tumbuh, Purwokerto harus mengutamakan pedestrian. - Dokpri.
Sebagai kota yang semakin tumbuh, Purwokerto harus mengutamakan pedestrian. - Dokpri.
Kota ini memang semakin  tumbuh dan kabarnya akan dipersiapkan menjadi kota otonom yang terpisah dari kabupaten induknya. Hanya saja, pertumbuhan kota semu ini akan ternodai jika jalur pedestrian tak menjadi patokan utama dalam pembangunan kota. Noda yang juga saya temukan di beberapa sudut Daerah Istimewa.

Jogja Istimewa memang terkenal dengan jalur pedestrian paling hits se-Indonesia Raya, Jalan Malioboro. Siapa yang tak betah berlama-lama di Jalan Malioboro. Mengambil foto, menikmati senja sembari melihat pertunjukan angklung, hingga berbelanja dengan nyaman. Para pedagang yang ditata dan trotoar yang diperlebar berpadu balutan pernak-pernik indah membuat para pelancong akan kangen.

Namun, noda-noda kecil dan cukup menganggu saya temukan kala berjalan di luar Malioboro. Jalur pedestrian di sekitar Terminal Bus Ngabean, Jalan Letjend. Suprapto, dan beberapa jalan protokol lain noda tampak itu menganga. 

Saya bahkan sering tak sengaja mengeluarkan umpatan "JanXXX" kepada oknum pemotor yang tak mengindahkan keberadaan saya di pinggir jalan. Saya paham kata-kata itu tak pantas saya ucapkan di Jogja yang terkenal dengan unggah-ungguhnya. Tapi sebagai orang dari Kawasan Arek yang tak bisa berbasa-basi, umpatan itu akan spontan keluar saat hak saya sebagai pejalan kaki terampas.

Tak semua pedestrian di Jogja Istimewa senyaman Malioboro. - Dokpri
Tak semua pedestrian di Jogja Istimewa senyaman Malioboro. - Dokpri
Belum lagi, jalur pedestrian di sekitar ring road barat, tempat saya tinggal. Beririsan pula dengan halte Trans Jogja yang menghalangi jalan. Berjalan dengan nyaman di sekitar ring road barat Jogja bagi saya adalah sesuatu hal yang butuh keberanian. Keberanian dari kegiatan yang cukup mustahil.

Semustahil menemukan banyak orang berjalan kaki di Kota Kediri, salah satu kota Mataraman di Jawa Timur. Ya, kota di mana darah saya separuh mengalir ini tak memiliki banyak jalur pedestrian yang bisa dijadikan catatan. Warga Kediri lebih sering menggunakan motor dibanding harus berpanas-panasan berjalan dengan kaki nyaman.

Tak banyak pedestrian yang dimanfaatkan di Kota Kediri karena warganya tak begitu suka berjalan kaki. - Dokpri.
Tak banyak pedestrian yang dimanfaatkan di Kota Kediri karena warganya tak begitu suka berjalan kaki. - Dokpri.
Makanya, saya lebih nyaman menceritakan Surabaya sebagai runner up kota dengan jalur pedestrian terbaik se-Indonesia versi saya. Bu Risma memang jempolan. Menata Surabaya dengan pedestrian menjadi salah satu fokus utama pembangunan. Trotoar di jalan-jalan protokol Surabaya adalah surga lapis ketujuh bagi para pejalan kaki meski panas juga tak tertahankan.

Tak terperi bahagia hati ini begitu saya tahu banyak hal yang akan bisa dinikmati bagi pejalan. Seperti lift yang akan terpasang di beberapa JPO di sana. Berjalan kaki tak lagi sebagai sebuah kemustahilan namun akan mejadi sebuah kebudayaan. Budaya yang mekar dan wangi mengikuti arus perkembangan zaman.

Surabaya masih terus melesat mencari cara agar pejalan kaki bisa nyaman. - Dokpri
Surabaya masih terus melesat mencari cara agar pejalan kaki bisa nyaman. - Dokpri
Seperti mekar dan wanginya Kota Banyuwangi yang kini banyak diperbincangkan. Menyusuri Kalilo, Taman Sri Tanjung, Kampung Wisata Temenggungan, hingga berakhir di Taman Blambangan dengan berjalan kaki merupakan aktivitas terekomendasi bagi para wisatawan. Meski tentu, Banyuwangi sebagai kota kecil tak bisa disamakan dengan kota besar dalam penataan pedestrian. Namun, Banyuwangi bisa dijadikan contoh untuk membangun sebuah jalur pedestrian yang nyaman di sebuah kota yang baru tumbuh.

Keharuman sebuah kota juga dilihat dari seberapa nyaman kota itu memiliki pedestrian. Lokasi Taman Sri Tanjung Banyuwangi, - Dokpri.
Keharuman sebuah kota juga dilihat dari seberapa nyaman kota itu memiliki pedestrian. Lokasi Taman Sri Tanjung Banyuwangi, - Dokpri.
Akhirnya, sebagai terminasi dari sedikit paparan ini, jalur pedestrian sebenarnya warisan luhur masa lampau. Kota-kota di Jawa sejak zaman kerajaan hingga penjajahan tumbuh dari aktivitas di sekitar  jalur pedestrian. 

Jika mengamati litografi masa lampau terutama masa penjajahan, walau berada dalam kondisi tekanan, yang ada adalah keceriaan dalam potret jalur pedestrian. Berbeda dengan sekarang. Naif memang mengatakan, meski merdeka, berjalan di atas trotoar, bagi pejalan kaki di Indonesia adalah sesuatu hal yang cukup mencemaskan.

Salam.  
Sumber: 

jateng.tribunnews.com
detik.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun