Dengan penambahan fasilitas umum tersebut, masyarakat Semarang diharapkan akan beralih untuk berjalan kaki. Bus-bus Trans Jateng dan Trans Semarang pun datang tepat waktu di haltenya masing-masing. Aneka pernak-pernik bagi pejalan kaki juga disiapkan. Beberapa taman gantung mini dibuat agar para pejalan tak kepanasan.
Sayang, keberadaan halte BRT malah menjadi pengganggu. Ketika pejalan kaki mulai nyaman berjalan beberapa meter dan menikmati perjalanannya, halte BRT sudah siap menghadang.Â
Pilihan bagi pejalan kaki hanya ada 2. Masuk ke halte BRT dengan menaiki tangga atau minggir ke bahu jalan dengan risiko kendaraan yang melaju dengan kecepatan setan siap menerjang. Kenyamanan bagi pejalan kaki pun akhirnya menjadi sesuatu hal yang semu.
Sementara, di sentra ekonomi dan daerah pinggiran kota semu ini, pedestrian yang ada benar-benar mengerikan. Sangat dekat dengan bahu jalan. Pejalan kali seakan harus membawa spion jika berjalan di kota yang banyak tergambar simbol-simbor Bawor ini.
Jogja Istimewa memang terkenal dengan jalur pedestrian paling hits se-Indonesia Raya, Jalan Malioboro. Siapa yang tak betah berlama-lama di Jalan Malioboro. Mengambil foto, menikmati senja sembari melihat pertunjukan angklung, hingga berbelanja dengan nyaman. Para pedagang yang ditata dan trotoar yang diperlebar berpadu balutan pernak-pernik indah membuat para pelancong akan kangen.
Namun, noda-noda kecil dan cukup menganggu saya temukan kala berjalan di luar Malioboro. Jalur pedestrian di sekitar Terminal Bus Ngabean, Jalan Letjend. Suprapto, dan beberapa jalan protokol lain noda tampak itu menganga.Â
Saya bahkan sering tak sengaja mengeluarkan umpatan "JanXXX" kepada oknum pemotor yang tak mengindahkan keberadaan saya di pinggir jalan. Saya paham kata-kata itu tak pantas saya ucapkan di Jogja yang terkenal dengan unggah-ungguhnya. Tapi sebagai orang dari Kawasan Arek yang tak bisa berbasa-basi, umpatan itu akan spontan keluar saat hak saya sebagai pejalan kaki terampas.