Secara tak sengaja, saya melihat kartun Spongebob Squarepants yang menampilkan episode terbaru ketika menunggu racikan obat di sebuah apotek.
Di dalam cerita tersebut, Spongebob dinarasikan memiliki seorang teman hamster besar bernama Cuddle e Hugs. Lucunya, ia hanya terlihat oleh Spongebob saja setelah memakan patty busuk. Dilihat dari namanya, sang teman khalayan menawarkan kenyamanan yang tak didapatkan Spongebob dari teman-teman nyatanya.Â
Salah satunya adalah pelukan hangat yang sangat nyaman dan membuatnya betah untuk setiap detik bersamanya. Bahkan Patrick, sahabat sejatinya begitu saja ia tinggalkan.
Di akhir cerita, Cuddle e Hugs ternyata berwatak jahat. Ia menyuruh Spongebob agar meminta teman-temannya memakan patty basi agar bisa melihatnya. Lantas, ketika teman-temannya bisa melihatnya, ia akan seperti Spongebob dan mulai ketagihan dengan kenyamanan sang hamster. Kekacauan pun terjadi karena semuanya berebut untuk memeluk sang teman imajinasi.
Saya sendiri dulu memiliki sebuah teman imajinasi bernama Tumtum. Seekor kelinci yang saya ciptakan dari sebuah boneka.
Alkisah, boneka kelinci yang saya miliki hilang ketika saya bermain di sebuah rumah saudara. Akhirnya, dalam beberapa waktu kemudian, saya mulai berbicara dengan Tumtum sembari bermain dengan mainan lain. Uniknya, seingat saya, ibu saya tak melarang ketika saya merancu segala hal tentang Tumtum.Â
Mungkin, beliau hanya mengantisipasi agar saya tak meminta membeli mainan baru lagi. Lantas, apakah anak-anak yang memiliki teman imajinasi itu berbahaya?
Sebelum menjawab hal tersebut, sebuah penelitian dari Universitas Oregon menyimpulkan bahwa sekitar 37% dari anak berusia kurang dari tujuh tahun mulai bermain dan berbicara dengan teman imajinasi mereka. Teman imajinasi ini bisa berupa sosok manusia, hewan, tokoh rekaan seperti superhero, atau sosok lain.Â
Mereka bisa sosok tunggal atau dalam kelompok. Adik perempuan saya dulu bahkan pernah menyatakan dia adalah anggota kelima dari Twinnies, kelompok boneka yang bisa bernyanyi dan menari. Keempat anggota lain kerap mengajaknya bermain setelah acara tersebut berakhir di televisi.
Anak laki-laki cenderung memiliki teman imajinasi laki-laki sedangkan anak perempuan bisa memiliki teman khayalan laki-laki atau perempuan. Mereka akan muncul dari bagian tubuh atau bagian kehidupan yang benar-benar dirasakan lebih dalam. Rasa kehilangan terhadap suatu benda kesayangan akan semakin menambah kekuatan nyata dari teman imajinasi.
Bisa saja, teman imanjinasi itu tumbuh dari sesuatu yang tampak mengerikan dari pikiran seorang anak kecil. Semisal, kematian atau kekerasan yang pernah dirasakan atau didengar. Ada kalanya, seorang anak kecil akan memiliki teman imajinasi berupa sosok yang tak mampu merasakan kesakitan.