Ketika saya harus diburu waktu untuk pulang ke Malang dari Jakarta kala ada suatu urusan, kala itu pula saya selalu bingung dan takut apakah akan turun di Bandara Juanda atau Abdurrahman Saleh.
Saat Bandara Abdurrahman Saleh dibuka lagi untuk penerbangan umum, sebagai orang Malang saya malah tidak pernah sekalipun naik pesawat dari atau menuju bandara itu. Kalaupun kesempatan untuk naik pesawaa datang kembali, saya selalu memilih Bandara Juanda dengan konsekuensi menambah 2 jam waktu perjalanan dari Surabaya menuju Malang.
Apa pasal saya melakukannya? Sugesti dari cerita orang sekitar akan horornya landing di Bandara Abdurrahman Saleh menjadi penyebabnya. Menurut beberapa dari mereka, pesawat akan berputar-putar dahulu, entah dengan alasan apa sebelum benar-benar landing.Â
Ketakutan saya semakin bertambah kala membaca kondisi di sekitar bandara yang dikelilingi pegunungan dan dalam suasana berkabut. Bandara Juanda yang menurut pemikiran saya lebih aman pun akhirnya selalu jadi pilihan.
Walau senang bepergian, pesawat adalah moda transportasi yang paling jarang saya naiki. Selain mahal, jika tidak sedang dalam keadaan terpaksa, lebih baik saya menggunakan moda transportasi darat. Maka, kereta api adalah moda transportasi  yang tetap menjadi pilihan saya dengan konsekuensi waktu tempuh lebih lama. Kala saya benar-benar menikmati perjalanan dengan kereta api dan selalu memotret setiap momen yang ada, namun itu tak terjadi di pesawat yang saya tumpangi. Lebih baik saya tidur dan banyak berdoa berharap pesawat saya segera sampai dengan selamat.
Dibandingkan take off, ketakutan terbesar saya adalah saat pesawat mulai landing dan turun secara signifikan. Di situlah anxiety saya menyerang. Bukan sakit kepala yang sering dialami oleh banyak penumpang lain, namun sensasi penyakit GERD yang saya idap benar-benar mencapai puncaknya. Perut serasa dikocok dan diikuti dengan sendawa hebat yang belum berakhir hingga saya menunggu tas saya untuk dikeluarkan dari bagasi di bandara.
Kala berkonsultasi dengan dokter, memang kondisi perbedaan tekanan udara ketika menaiki pesawat adalah salah satu penyebab sakit kepala yang sering disebut dengan airplane headache.Â
Meski penyakit ini sendiri masih diperdebatkan lebih lanjut oleh para peneliti, tapi ada satu poin penting yang bisa diambil. Ketakutan akan naik pesawat adalah sumber masalah kesehatan itu yang kerap berhubungan dengan kondisi psikosomatis.
Padahal, kala saya menunggu pesawat di bandara, pemikiran akan datangnya kematian selalu saya tepis dengan membaca statistik mengenai perbandingan kecelakaan beberapa moda transportasi. Menurut statistik yang dirilis oleh Departemen Transportasi AS, justru berkendara di jalan raya adalah cara bepergian paling berbahaya.
Dari data yang dirilis tahun 2015 tersebut, perbandingan antara kemungkinan kejadian kecelakaan pada pengguna sepeda motor adalah 1 banding 114 sedangkan untuk mobil sebesar 654. Bandingkan dengan pesawat terbang yang "hanya" memiliki bilangan pembanding 9821. Artinya, dari 9821 kali penerbangan pesawat terbang, akan kemungkinan terjadi satu kali kecelakaan. Jumlah yang sangat kecil sekali.
Statistik ini jika dilihat lebih seksama memang benar adanya. Hampir tiap hari, berita kecelakaan  motor, mobil, bahkan truk menghiasi lini masa media sosial saya. Ada saja truk atau mobil yang menabrak pembatas jalan hingga masuk jarang dengan korban yang tidak sedikit. Tak hanya itu, berita tertabraknya mobil di perlintasan kereta api pun juga seakan tak berhenti seperti yang saya tulis disini.