Sejak tahun 2014, sekolah tempat saya mengajar dulu mendapat bantuan seperangkat alat band dari pemerintah pusat.
Bantuan tersebut berupa satu buah keyboard, satu set drum, dua buah gitar, dan satu buah bas. Berpikir jika bantuan tersebut sia-sia jika dibiarkan menganggur, maka Kepala Sekolah berinisiatif untuk membuka ekstrakurikuler band diantara 11 ekstrakurikuler yang sudah ada.Â
Kebetulan karena kala itu saya merupakan guru baru di sana dan belum mendapat tugas sebagai pendamping ekstrakurikuler, maka saya diberi amanah untuk menjalankan tugas tersebut.
Sebenarnya, saya cukup ragu untuk menjalankan tugas tersebut. Alasan utamanya adalah pertentangan dari beberapa rekan guru yang merasa bahwa menjalankan kegiatan ekskul ini di tingkat sekolah dasar adalah hal yang mustahil.Â
Keterbatasan dana dan belum cukup umurnya siswa-siswi kami untuk bermain musik menjadi alasannya. Belum lagi, pelajaran mengenai seni musik di kelas juga kurang maksimal dan hanya sebatas lalu saja.
Namun, sang Kepala Sekolah meyakinkan kepada para guru bahwa ekstrakurikuler ini akan menjadi pilot project bagi sekolah. Hanya akan berlangsung satu tahun pertama dulu dan kemudian akan dievaluasi pada tahun berikutnya. Jika tak ada hasil yang cukup memuaskan dalam perjalanan ekstrakurikuler ini, maka dengan terpaksa akan dihentikan.
Pemikiran lain dari sang Kepala Sekolah kala menginisiasi kegiatan ekstrakurikuler ini adalah banyaknya talenta bermusik yang dimiliki oleh siswa-siswi kami. Beberapa diantara siswa-siswi kami pernah menjuarai lomba piano tunggal pada lomba di sanggar musiknya.Â
Ada pula yang piawai dalam bermain gitar hingga sesekali membuat video bersama sang kakak melalui channel Youtube. Dan ada pula yang pernah memenangkan lomba menyanyi, baik di tingkat kecamatan maupun kota. Semua talenta tersebut sangat disayangkan jika tidak disatukan dalam satu harmoni grup band atas nama sekolah.
Selain beberapa alasan teknis tersebut, keberatan beberapa guru dalam pembukaan program ekskul adalah banyaknya peserta ekstrakurikuler karawitan yang akan beralih mengikuti kegiatan band ini. Padahal, ekskul yang sudah eksis sejak sekolah ini berdiri ini juga merupakan nyawa eksistensi sekolah. Tak hanya itu, kekhawatiran akan lunturnya nilai-nilai luhur budaya Jawa kala anak-anak banyak yang beralih kepada ekstrakurikuler band ini juga sempat terbersit.
Kekhawatiran tersebut cukup lumrah. Kala alat-alat band yang merupakan hasil bantuan tersebut tiba di sekolah, banyak dari siswa-siswi kami yang sudah tak sabar menggunakannya. Bak mendapat emas turun dari langit, mereka sudah tak sabar untuk mendapatkan kesempatan memainkan alat musik tersebut.
Benar saja, saat pendaftaran ektrakurikuler dibuka pada awal tahun pelajaran, peminat ekskul ini pun membeludak. Maka, saya dan pelatih band pun sepakat membuka audisi kecil-kecilan sebelum menjalankan kegiatan ini.
Kami memprioritaskan siswa yang berbakat dan siswa yang benar-benar ingin belajar musik meski mereka belum mahir memainkan satupun alat musik. Untuk siswa yang hanya sekedar main-main, maka nama mereka pun terpaksa dicoret.
Semuanya harus kami lakukan karena keterbatasan alat, pengajar dan untuk menjaga keefektifan kegiatan. Alasan ini juga diamini oleh sang Kepala Sekolah. Menurut beliau, lebih baik peserta ekskul band ini sedikit namun berkualitas. Dengan peserta terbatas, maka pelatih juga bisa fokus untuk membuat program latihan yang maksimal.
Tak hanya itu, kami pun menyusun beberapa tim dalam ekskul band ini. Kami sepakat membentuk tiga tim layaknya formasi JKT48. Ada Tim A bagi siswa-siswi kelas 5 dan yang telah mahir bermain musik, Tim B bagi yang memiliki kemampuan menengah atau bisa juga siswa-siswi kelas 4, dan Tim C (Tim Trainee) bagi mereka yang belum bisa bermain musik sedikitpun atau siswa-siswi kelas 3. Artinya tidak selalu tim A,B, atau C diisi oleh tingkatan kelas yang sama. Namun, sepanjang perjalanan ekskul ini, jarang sekali ditemukan siswa kelas yang lebih rendah bisa masuk ke Tim A atau B. Biasanya  satu tim band berasal dari tingkatan kelas yang sama.
Selain tampil festival band, mereka juga kerap diundang kala ada acara pendidikan di Diknas, kecamatan, maupun kelurahan. Maka dari itu, format tiga tim tadi juga sangat membatu kala banyak undangan datang dari luar. Bagaimanapun, mereka masih berusia sekolah dasar yang memiliki keterbatasan jika mendapat jadwal yang padat. Maka dari itu, kami mengatur prioritas tim sebagai panduan siapa yang akan tampil di sebuah acara.
Tim A yang lebih senior biasanya akan tampil di acara dengan tingkatan tinggi semisal festival band atau acara Diknas. Tim B akan tampil di acara kecamatan seperti saat ada halalbihalal guru SD dan TK se-kecamatan. Sementara, Tim C akan tampil dalam acara di tingkat kelurahan atau acara sekolah. Dengan pembagian seperti itu, selain meminimalisir keletihan yang dialami peserta eskul band, mereka juga mendapatkan kesempatan yang sama untuk tampil.
- Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Penampilan Tim A Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Pemilihan lagu pun menjadi masalah tersendiri. Kala lagu-lagu anak kurang diminati, pelatih band pun coba sesekali memberikan lagu dewasa yang masih pantas dinyanyikan oleh mereka. Dalam memainkan lagu anak, aransemen baru yang menarik harus sesekali digunakan agar mereka tidak bosan.
Kesulitan lain tentu terdapat pada pemeliharaan alat musik yang kerap kali rusak. Namanya anak-anak, mereka belum paham menggunakan alat-alat tersebut dengan hati-hati. Terlebih, alat-alat tersebut berbasis elektronik. Selain berbahaya juga butuh banyak biaya untuk memperbaikinya ketika tidak bisa berfungsi dengan baik. Latihan band pun sempat vakum selama beberapa minggu saat dana BOS belum turun dan banyak alat band yang rusak. Tak hanya itu, tidak adanya ruangan khusus untuk latihan band membuat latihan harus bergantian dengan jadwal ekskul lain semisal tari dan karawitan.
                                               Penampilan dari Tim C (Tim Trainee)
Walau mengalami kembang kempis, hingga kini ekstrakurikuler band di sekolah kami masih eksis. Bagi kami kini tak hanya sekedar menjadi ajang untuk melatih skill bermusik. Namun juga kami mencoba memberikan kesadaran kepada mereka bahwa dunia band ini cukup rentan kepada hal-hal negatif, terutama penggunaan narkoba. Kala sedari kecil mereka sudah diberi arahan semacam itu, maka pada suatu saat nanti mereka akan lebih sadar. Main band boleh tapi main narkoba jangan. Dan juga pengajaran untuk tetap berlatih serius dan fokus serta tidak merasa cepat puas dan menjangkiti star syndrome. Sebuah penyakit yang kini banyak menjangkiti generasi muda.
Sekian, salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H