Tulisan pertama pun akhirnya terbit. Sebuah tulisan yang cukup unik (atau bisa dibilang tidak jelas) karena bercerita bagaimana saya bisa salah memilih untuk naik kereta lokal. Pengalaman unik ketika mencoba jalan-jalan sendirian ini merupakan tulisan perdana saya di Kompasiana. Dengan tata bahasa yang masih sangat kacau dan entah bagaimana saya menyusun kalimat dengan tak karuan. Yang penting bagi saya, pikiran saya tersampaikan.
Pada waktu-waktu pertama saya menulis, jalinan erat yang begitu hangat benar-benar saya rasakan. Ada Mas Ryan M, Bu Guru Ani, Mbak Putri Apriyani, Bu Majawati Oen, Pak Teguh, Mbah Ukik, Mbak Septiyaning, Mbak Irma Inong, Bu Lis Swasono, Pak Bain Saptaman, dan beberapa Kompasianer hebat lain yang begitu asyinya menjalin silaturahmi lewat kolom komentar. Bahkan, ada dua Kompasianer yang identitasnya tidak saya ketahui namun jalinan ertanya masih terasa hingga sekarang.Â
Keduanya adalah Mbak Mou Soul dan Mbak Lumba-Lumba. Saya memang tidak menjalin komunikasi lebih lanjut melalui media lain. Meski begitu, saya sangat senang bisa berkomunikasi dengan mereka lewat saling berbagi tulisan di Kompasiana. Inilah hal yang tidak saya dapatkan di platform blog lain. Saya seakan berada di sebuah rumah susun yang begitu bersahaja menjalin keakraban dengan penguni lain.
Suka duka kala berkompasiana tentu juga pernah saya rasakan. Hingga sekarang, jasa Kompasiana yang membuat saya berhasil menerbitkan buku antologi pertama saya tidak bisa saya lupakan begitu saya. Kala buku itu terpajang di etalase toko buku di seluruh Indonesia, saya semakin bertekad tidak akan meninggalkan Kompasiana.
Namun, kegagalan untuk masuk di akun Kompasiana adalah duka mendalam bagi saya. Sempat vakum satu tahun akibat tidak bisa masuk, hingga sekarang rasa was-was untuk tidak masuk ke akun Kompasiana masih terbayang. Kekecewaan saya kala berkompasiana bukanlah tidak mendapat HL atau menang lomba, namun akibat gagal masuk ini.Â
Kala ada sesuatu yang benar-benar ingin saya sampaikan namun terganjal rintangan. Semoga di usia yang ke-10 ini, kegagalan masuk akun yang dialami para Kompasianer bisa diminalisir. Dan juga, Kompasiana bisa tetap guyub dalam merawat warga dan Komunitasnya karena itulah kekuatan Kompasiana yang sebenarnya.
Sembari menjalani kesibukan saya yang begitu padat di dunia nyata, saya masih bertekad untuk terus menulis. Meski tak bisa satu hari satu artikel, namun saya sudah nawaitu untuk melakukan Puasa Daud dalam menulis.Â
Sehari menulis sehari tidak. Semoga konsistensi yang saya coba saya tekuni bisa dijalani oleh kompasianer lain atau bahkan bisa lebih. Karena saya yakin, Kompasianer adalah pribadi hebat yang akan terus berusaha menyemai kebaikan di tengah padatnya ujaran kebencian.
Itulah yang bisa saya bagikan dalam rangkaian HUT Kompasiana ke-10 ini. Semoga bermanfaat dan mohon maaf jika ada kesalahan, baik di tulisan ini maupun di tulisan saya lainnya.