Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kala Arek Malang Harus Bisa Berbahasa Jawa Standar

19 Oktober 2018   09:54 Diperbarui: 19 Oktober 2018   12:39 2195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa Cirebon yang menjadi muatan lokal di Cirebon. Sumber: http://psikologiiainsyekhnurjaticirebon.blogspot.com

"Dudu Yok Opo, tapi Kepriye. Coba dibaleni maneh!" (Bukan "Yok Opo" tapi "Kepriye"! Coba diulangi lagi!)

Seru saya kepada salah seorang siswa yang menjawab soal dari BKS. Soal tersebut meminta mereka untuk membuat kalimat tanya dari bahan bacaan yang tersedia.

Dari sekian siswa, hanya beberapa siswa saja yang mampu menjawab dengan benar. Selebihnya, mereka kurang tepat dalam memilih kata tanya.

Selalu menggunakan kata tanya khas Dialek Jawa Timuran, hingga kelas 5 pun kata tanya bahasa Jawa yang baku masih belum bisa mereka pahami dengan baik. "Geneya", "Kepriye", dan "Ing Ngendi", seakan lebih sulit mereka pahami dibandingkan "why", "how", dan "where".

Kesulitan dari memahami tiga kalimat tanya tersebut adalah salah satu contoh dari kesulitan lain kala mereka belajar bahasa Jawa. Ulangan harian, Ulangan Tengah Semester, dan Ulangan Akhir Semester bahasa Jawa menjadi ajang obral nilai 3, 4, dan 5. Sempat berpikir kalau saya gagal mengajar, nyatanya obral nilai merah ini juga terjadi di kelas lain, mulai kelas 1 hingga 6.

"Kami tidak tinggal di Jogja, Pak!"

Begitu seru salah seorang siswa saya yang dikenal cukup kritis. Ia sering mengeluh tak memahami sedikitpun maksud dari sebuah bacaan bertema Perang Baratayuda yang dikemas dengan beberapa kosa kata bahasa rinengga (bahasa yang sering digunakan dalam sastra Jawa).

Baginya, untaian kata demi kata di dalam bahasa itu sangatlah asing. Alasan yang logis mengingat di dalam kehidupan mereka sehari-hari hampir tak satu pun kata di dalam bacaan tersebut ia gunakan.

Keterasingan dalam memaknai bacaan tersebut dan belajar bahasa Jawa yang dialami oleh murid-murid saya memang bisa dimaklumi. Kurikulum muatan lokal yang digunakan adalah kurikulum bahasa Jawa standar yang digunakan oleh masyarakat Solo-Jogja atau biasa disebut dengan Mataraman.

Sementara itu, mereka tinggal di Kota Malang yang masih satu rangkaian dengan Kota Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan dan sekitarnya dengan bahasa Jawa Dialek Jawa Timur yang kental. Bahasa ibu yang mereka terima sedari kecil adalah dialek Jawa Timuran. Sesekali, makian kasar J****k harus mereka dengar di sekitar lingkungan mereka.

Bertahun-tahun, kebiasaan bertutur kata dalam dialek Jawa Timuran telah mendarah daging. Keunikan leksikon dan fonetis dialek Jawa Timuran membuat dialek ini berbeda.

Tak hanya menghasilkan partikel baru, dialek Jawa Timuran juga menghasilkan kosa kata baru yang jauh berbeda dengan bahasa Jawa standar. Padahal, kosa kata inilah yang menjadi kunci dalam memahami materi-materi pelajaran bahasa Jawa.

Contoh perbedaan dialek bahasa Jawa standar dan bahasa Jawa Timuran. - Dokumen Pribadi
Contoh perbedaan dialek bahasa Jawa standar dan bahasa Jawa Timuran. - Dokumen Pribadi
Dari sekian banyak materi pelajaran bahasa Jawa, rata-rata murid saya hanya menguasai dengan baik mengenai bacaan sederhana, ukara tanduk dan tanggap (kalimat aktif dan pasif), serta gambar tokoh wayang yang langsung bisa mereka kenal di bagian belakang buku Pepak Basa Jawa. Selebihnya, tingkat pemahaman materi lainnya bisa dikatakan kurang.

Merangkai tata bahasa krama inggil yang menjadi nyawa pelajaran bahasa Jawa pun seringkali gagal mereka lakukan. 

Pemahaman mengenai tata bahasa lain semisal tembung saroja, tembung entar, dan tembung garba juga menjadi materi yang belum terkuasai dengan baik. Meski beberapa siswa cukup mampu menulis aksara jawa dengan baik, tetap saja banyak diantara mereka harus melakukan buka tutup Pepak Basa Jawa. Namun, tentu saja materi paling sulit bagi mereka adalah pelajaran tentang kesusastraan Jawa, baik geguritan (puisi), cangkriman (pantun), dan tembang (nyanyian).

Materi geguritan menjadi materi dengan tingkat pemahaman terendah. Penggunaan bahasa rinengga yang sangat kental menjadi momok bagi mereka. Jangankan mendalami rangkaian kata demi kata, maksud dari judul geguritan yang akan mereka baca pun seringkali tak mereka pahami. Sesuatu yang benar-benar asing bagi mereka.

Geguritan (puisi), materi bahasa Jawa yang dirasa paling sulit. - Dokumen Buku Paket Bahasa Jawa kelas 5
Geguritan (puisi), materi bahasa Jawa yang dirasa paling sulit. - Dokumen Buku Paket Bahasa Jawa kelas 5
Selain tidak terbiasa dan gencarnya arus budaya asing yang menggeser kebudayaan Jawa, ada satu hal yang membuat mereka tidak antusias dalam belajar bahasa Jawa dengan baik. Materi yang cukup banyak harus mereka kuasai dalam satu bab.

Dengan hanya memiliki alokasi waktu 2 jam pelajaran seminggu, tentu pemahaman aneka materi tersebut harus dilakukan dengan cepat. Padahal, dengan perbedaan dialek yang mereka alami, belajar dengan sistem seperti ini sangatlah sulit.

Kadang, guru hanya monoton dengan berbasis BKS dalam melakukan pengajaran. Pelajaran bahasa Jawa pun menjadi tidak menarik dan semakin sulit.

Bagi mereka, memahami bahasa rinengga dalam materi kasusastraan Jawa akan sama sulitnya jikalau mereka belajar kosa kata maskula dan femina dalam bahasa Prancis.

Nilai pelajaran bahasa Jawa akan menjadi nilai paling rendah diantara nilai lainnya. Sempat melakukan sedikit survei kepada 30 murid saya, sebanyak 26 diantaranya memilih bahasa Jawa adalah pelajaran yang paling sulit.

Bahkan, ada salah satu murid les saya dengan polos mengatakan bahwa mempelajari bahasa Jawa di sekolah adalah kegiatan paling menyiksa.

Jawaban polos yang selalu disertai dengan penggunaan dialek Jawa Timuran dalam menjawab berbagai pertanyaan bacaan sebagai bentuk "protes".

Bentuk protes yang polos ini menjadi salah satu pemikiran untuk mengkaji ulang penggunaan bahasa jawa standar yang digunakan dalam pelajaran bahasa Jawa di sekolah.

Pada beberapa diskusi dengan rekan guru yang mengajar dengan tingkat yang sama, ada beberapa usulan dan pemikiran untuk mengganti pelajaran bahasa Jawa dengan menggunakan bahasa Jawa dialek Jawa Timuran. Sesuatu yang telah dilakukan oleh sekolah-sekolah di Cirebon kala mereka mengajarkan bahasa Cirebon, yang notabene juga masih bisa dikatakan dialek bahasa Jawa bagi beberapa kalangan sebagai muatan lokalnya.

Bahasa Cirebon yang menjadi muatan lokal di Cirebon. Sumber: http://psikologiiainsyekhnurjaticirebon.blogspot.com
Bahasa Cirebon yang menjadi muatan lokal di Cirebon. Sumber: http://psikologiiainsyekhnurjaticirebon.blogspot.com
Tentu, usul ini tak bisa begitu saja diterima karena bagaimanapun bahasa Jawa standar adalah sesuatu yang seharusnya juga bisa dipelajari oleh siswa-siswi di Kawasan Arek.

Mereka juga orang Jawa yang tak boleh lepas akar kebudayaannya terutama bahasa. Hanya mempelajari bahasa Jawa dialek Jawa Timuran tentu akan semakin menjauhkan mereka dari nilai-nilai luhur bahasa Jawa yang sebenarnya karena dialek ini sendiri pun hasil dari pencampuran berbagai kebudayaan.

Satu langkah yang bisa dilakukan adalah menelaah kembali kurikulum muatan lokal bahasa Jawa di daerah penutur bahasa Arekan. Tak harus bisa menguasai bahasa Jawa standar dalam waktu singkat seperti yang selama ini dilakukan, pengajaran bisa dilakukan secara berjenjang.

Misalkan sejak kelas kecil, mereka difokuskan untuk mengenal kosa kata bahasa Jawa standar dan membandingkannya dengan dialek yang mereka gunakan.

Setelah mereka terbiasa untuk melakukan perbandingan kosa kata dalam dua dialek tersebut, maka materi yang lebih sulit dapat diajarkan pada kelas berikutnya. Hingga, materi yang dirasa paling sulit semisal geguritan dan tembang baru diajarkan setelah mereka benar-benar memahami aneka kosakata yang dalam kehidupan sehari-hari jarang mereka gunakan.

Berbagai bentuk pengajaran yang menyenangkan semisal bernyanyi, berpantun, memainkan drama, atau yang lainnya juga harus terus dilakukan. Konsep pengajaran jelas yang terangkum dalam silabus maupun Rencana Program Pembelajaran (RPP) pun harus dimiliki guru karena selama ini banyak guru kelas yang mengajar bahasa Jawa tidak memiliki keduanya.

Banyak dari mereka yang benar-benar berorientasi buku paket dan BKS dengan sesekali melihat "arah angin berjalan" dalam mengemudikan pelajaran bahasa Jawa di kelas.

Dan yang pasti, peran dari orang tua dan lingkungan sekitar juga sangat penting dalam mendukung pengajaran bahasa Jawa ini. Meski, hal ini cuku sulit karena lingkungan mereka tentu saja menggunakan bahasa Jawa Timuran dalam berkomunikasi.

Kala belajar bahasa Jawa tak lagi sulit dilakukan bagi siswa penutur dialek Jawa Timuran, mereka akan lebih kaya dalam berkomunikasi dan berbudaya. Dialek yang timbul dari perbedaan geografis seharusnya menjadi berkah tersendiri.

Dan akhirnya, saya bisa berujar kepada siswa yang kritis tadi bahwa meskipun kamu tidak tinggal di Jogja, tapi tidak mustahil kamu juga bisa berbahasa seperti mereka.

Arek Malang kudu iso, je.

Sekian, selamat berbulan bahasa. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun