Tak hanya menghasilkan partikel baru, dialek Jawa Timuran juga menghasilkan kosa kata baru yang jauh berbeda dengan bahasa Jawa standar. Padahal, kosa kata inilah yang menjadi kunci dalam memahami materi-materi pelajaran bahasa Jawa.
Merangkai tata bahasa krama inggil yang menjadi nyawa pelajaran bahasa Jawa pun seringkali gagal mereka lakukan.Â
Pemahaman mengenai tata bahasa lain semisal tembung saroja, tembung entar, dan tembung garba juga menjadi materi yang belum terkuasai dengan baik. Meski beberapa siswa cukup mampu menulis aksara jawa dengan baik, tetap saja banyak diantara mereka harus melakukan buka tutup Pepak Basa Jawa. Namun, tentu saja materi paling sulit bagi mereka adalah pelajaran tentang kesusastraan Jawa, baik geguritan (puisi), cangkriman (pantun), dan tembang (nyanyian).
Materi geguritan menjadi materi dengan tingkat pemahaman terendah. Penggunaan bahasa rinengga yang sangat kental menjadi momok bagi mereka. Jangankan mendalami rangkaian kata demi kata, maksud dari judul geguritan yang akan mereka baca pun seringkali tak mereka pahami. Sesuatu yang benar-benar asing bagi mereka.
Dengan hanya memiliki alokasi waktu 2 jam pelajaran seminggu, tentu pemahaman aneka materi tersebut harus dilakukan dengan cepat. Padahal, dengan perbedaan dialek yang mereka alami, belajar dengan sistem seperti ini sangatlah sulit.
Kadang, guru hanya monoton dengan berbasis BKS dalam melakukan pengajaran. Pelajaran bahasa Jawa pun menjadi tidak menarik dan semakin sulit.
Bagi mereka, memahami bahasa rinengga dalam materi kasusastraan Jawa akan sama sulitnya jikalau mereka belajar kosa kata maskula dan femina dalam bahasa Prancis.
Nilai pelajaran bahasa Jawa akan menjadi nilai paling rendah diantara nilai lainnya. Sempat melakukan sedikit survei kepada 30 murid saya, sebanyak 26 diantaranya memilih bahasa Jawa adalah pelajaran yang paling sulit.
Bahkan, ada salah satu murid les saya dengan polos mengatakan bahwa mempelajari bahasa Jawa di sekolah adalah kegiatan paling menyiksa.