Saya masih ingat ada satu candi yang belum saya kunjungi di Kabupaten Pasuruan.
Untuk menggenapkan koleksi foto candi yang memenuhi file demi file di dalam hard disk saya, maka tanpa banyak pertimbangan saya segera meluncur ke kota ini di pagi hari. Candi yang saya maksud adalah Candi Gunung Gangsir.Â
Menurut peta di dalam GPS, candi ini terletak di daerah Beji, Pasuruan. Jika bisa digambarkan dari arah Malang, saya harus menuju daerah industri di sekitar Pandaan untuk mencapainya.
Perjalanan menuju candi ini dari Kota Malang saya mulai sekitar pukul 8 pagi. Waktu yang cukup siang karena matahari sudah menampakkan diri dengan bahagianya. Singkat cerita, motor yang saya kendarai dengan mudah membelah batas Kabupaten Malang dan Kabupaten Pasuruan.Â
Saya masih berdoa bisa selamat ketika melewati daerah Purwodadi, Pasuruan. Bukan isapan jempol saya melakukannya. Bekas tabrakan yang menghantam puluhan motor dan mobil akibat kecelakaan karambol awal tahun 2017 itu masih terpampang dengan jelasnya di pembatas jalan.
Puji syukur, saya bisa melewati daerah tengkorak tersebut dengan lancar. Perjalanan pun berlanjut menuju kota kecamatan Pandaan yang cukup ramai. Aktivitas daerah yang bisa disebut batas dua kluster kebudayaan Jawa Timur, Â "kawasan arek" dan "tapal kuda" itu sangat riuh.Â
Apalagi, bulan September kemarin adalah musim nikah. Lagu-lagu wajib semacam Sagita Asololoey Icik-Icik Ehem dan Ditinggal Rabi menggema di beberapa gang yang dijadikan TKP pesta perkawinan. Ah sayang, saya sedang tidak dalam rangka menuju acara kondangan. Motor pun terus saya pacu.
Sesampainya di perempatan Pasar Pandaan, saya terus melaju ke arah utara menuju daerah industi Pandaan/Beji. Daerah ini sebenarnya pernah saya lalui ketika saya "hampir" bekerja sebagai staf QC di suatu perusahaan pakan ternak. Tapi, karena takdir berkata lain, saya, saya tak lagi menjejaki daerah ini.
Prediksi saya tepat. Akses jalan menuju kawasan-kawasan industri ini masih parah. Maklum saja, banyak kendaraan berlalu lalang. Sesekali, saya disalip oleh para pengendara yang memacu kendaraannya dengan kencang. Tak banyak yang bisa dinikmati di sini selain pabrik dan pabrik yang berselang-seling dengan sawah.Â
Beberapa kilometer kemudian, terpampanglah bau-bau jalan tol. Terlihat jelas sisa material dan tanda peringatan untuk berhati-hati bagi pengguna jalan karena banyak truk yang keluar masuk.
Beberapa menit kemudian, saya sampai di sebuah perempatan. Dari perempatan ini jika mengikuti arahan GPS, harusnya saya berbelok ke arah timur menuju ke arah Bangil. Namun, saya tak menemukan tanda petunjuk arah menuju candi. Saya pun memutuskan untuk mengikuti petunjuk tersebut.Â
Beberapa meter kemudian, tampak sebuah SD Negeri Gunung Gangsir yang berdiri kokoh. Naga-naganya, saya hampir sampai. Motor pun saya pelankan. Sesekali, saya menatap layar ponsel untuk memastikan apakah jalan yang saya lalui benar karena tidak ada satupun petunjuk ke arah candi ini.
Di sebuah gang, ponsel saya menunjukan letak candi yang sudah sangat dekat. Memutuskan masuk ke gang tersebut, saya berharap segera menemukan candi ini. Dan alamak, kejutan pun terjadi.Â
Ada sebuah lintasan kereta api tanpa palang yang menghadang. Hanya ada perintah untuk menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak ada satupun petugas yang mengatur laku lintas. Menyadari bahaya itu, saya mencoba hati-hati.Â
Rupanya, lintasan kereta api ini adalah petak Bangil-Porong yang saya lalui ketika menaiki Kerata Api Penataran. Setelah berhasil melalui area berbahaya, mata saya langsung berbinar. Candinya sudah terlihat.
Ah, senangnya. Saya segera mencari lokasi parkir motor. Namun, tak ada parkiran motor di sana. Saya lalu mencoba menuju pintu masuk dan ternyata pintunya terkunci rapat. Saya hanya melihat anak-anak bermain di dekat pos jaga candi yang juga terkunci rapat. Lantas, dari mana anak-anak itu bisa masuk?
Saya lalu masuk dan mulai memahami setiap bagian dari candi ini. Meski namanya ada kata gunungnya, namun candi ini tidak terletak di gunung atau di kaki gunung. Candi ini malah terletak di dataran rendah yang cukup dekat dengan laut.
Mengapa harus menggali lubang? Dari literatur yang saya baca, kegiatan "nggangsir" ini dilakukan untuk mencuri benda-benda berharga yang terdapat dalam bangunan candi. Waduh, iya juga sih. Lha dibiarkan terbuka begini.
Konon, saat itu daerah ini merupakan lahan yang sangat subur. Namun sayang, masyarakat di sana tidak mengerti cara mengelola lahan pertanian dan sumber pangan yang hanya berasal dari berburu binatang saja. Ketika ketersediaan hewan mulai amat berkurang, masyarakat mulai beranjak kelaparan.
Melihat contoh burung yang menjatuhkan biji-bijian ke tanah, masyarakat pun mengikutinya. Mereka mulai bercocok tanam dan berhenti memburu hewan. Cerita ini terdapat ornamen candi yang pada setiap sisi-sisinya banyak ditemui relief bergambar tanaman seperti padi, kapas, dan palawija lainnya. Ornamen hewan seperti bulus, gajah, buaya, babi, anjing, dan kuda terbang yang kesemuanya melambangkan kemakmuran juga dapat ditemukan.Â
Sayang, kondisi candi ini cukup memprihatinkan. Hampir semua sudut pada lantai-lantai dalam keadaan rusak. Atap candi juga hilang. Saya juga tak berani menaiki candi karena terlihat ada anak tangga dan masih dilakukan perawatan.
BPP Beji bahkan memiliki suatu program unggulan bernama "kaji terap". Para penyuluh pertanian akan membuat percontohan terlebih dahulu kepada Gapoktan sasaran sampai berhasil.
Jika kaji terap tersebut sudah berhasil, maka bisa disebarkan kepada kelompok-kelompok petani yang lain. Program kaji terap ini dilaksanakan secara berkala setiap tahun.Â
Salah satu metode yang digunakan adalah penggunaan Mesin Tanam Padi. Dengan adanya mesin ini, diharapkan waktu penanaman lebih cepat, penghematan tenaga kerja dan biaya tanam.Â
Keuntungan lainnya jarak tanam dan jumlah bibit per lubang bisa diatur. Nah, dari beberapa desa di Kecamatan Beji, Gapoktan di Desa Gunungsari dan Gunung Gangsir adalah yang cukup berhasil.
Saya cukup salut dengan spirit Mbok Rondo Darmo ini yang masih dilakukan warga sekitar. Bersinergi dengan Kementerian Pertanian, spirit untuk tetap menjaga budaya bertani masih bertahan hingga sekarang.Â
Gempuran industrialisasi memang cukup besar. Namun, mereka tetap istiqomah mengembangkan pertanian yang produktif  di tengah kepungan kawasan industri.
Semoga spirit ini tidak mengalami stagnasi atau bahkan degradasi di tengah industrialisasi dan proyek pembangunan jalan tol yang begitu masif.
***