Tak jauh-jauh, di kampung saya sendiri juga terdapat enklave dan eksklave dengan posisi yang cukup rumit. Kebetulan, rumah saya berbatasan langsung dengan sebuah perumahan elit. Meski berbatasan, kedua daerah ini berbeda kelurahan.
Masalah muncul ketika ada seorang yang cukup kaya raya, sebut saja Bapak  A, memiliki sebidang tanah lapang di dekat jalan masuk antara kampung dan perumahan. Mulanya, tanah tersebut beralamat di jalan yang sama dengan rumah saya.Â
Setelah Bapak A meninggal, ahli waris lalu menjualnya dan memecah sertifikat tanah tersebut. Entah bagaimana awalnya, beberapa bagian tanah mengikuti alamat tempat tinggal saya sedangkan bagian lain  mengikuti alamat perumahan. Pola alamat itu tidak mengikuti pola jalan ataupun kedekatan, namun berdasarkan faktor like or dislike.
Bangunan baru pun didirikan. Pihak yang mengikuti alamat jalan seperti alamat  rumah saya beralasan agar bisa guyub dengan warga kampung. Sedangkan pihak yang mengikuti alamat perumahan beralasan untuk memudahkan pencarian alamat karena secara geografis sebenarnya lebih dekat dengan jalan di sekitar perumahan.
Meskipun hal itu dilakukan dengan konsekuensi memiliki administrasi RT, RW, dan kelurahan yang berbeda dengan rumah-rumah di sekitarnya.
Maka jadilah pola alamat yang tak karuan antara satu rumah dengan rumah yang lain. Posisi ini cukup menyulitkan jika terjadi kejadian penting. Warga beralamat perumahan yang lebih dekat dengan warga perkampungan  harus mengikuti prosedur administrasi perumahan jika terjadi sesuatu, semisal kematian.
Sebaliknya, warga beralamat perkampungan akan mendapat pertanyaan alamat mereka jika didatangi oleh pengantar ekspedisi meski secara geografis rumah mereka dekat dengan perumahan. Pengantar ekspedisi akan berjalan jauh mengikuti jalan poros sesuai gang alamat perkampungan.
Dua minggu belakangan ini publik tertuju pada salah satu rumah milik warga Kota Bandung bernama Pak Eko yang mengalami nasib seperti enklave. Lagi-lagi, polemik tanah menjadi salah satu hal yang membuat enklave ini terjadi dan mengakibatkan Pak Eko seperti hidup dalam blokade bak penduduk Berlin Barat.Â
Dari kejadian ini, sebenarnya dapat dijadikan pelajaran bahwa masalah kepemilikan tanah juga harus benar-benar diperhatikan, terutama ketika akan membangun sebuah bangunan. Mengurangi egoisme, jalan tengah juga perlu ditempuh agar tak ada yang berkeberatan, terutama mengenai jalan masuk dan keluar bagunan tersebut.Â
Jangan sampai membentuk enklave dan eksklave baru yang tak hanya membuat bingung pengantar ekspedisi, namun juga membuat sengsara beberapa penghuni enklave-eksklave tersebut. Bagaimanapun, adanya enklave dan eksklave lebih banyak membuat kerugian daripada mendatangkan keuntungan.