Sabtu (15/09/2018) untuk pertama kalinya, dunia twitter seakan menyuguhkan drama peperangan yang sangat menarik perhatian.
Bukan peperangan antara pendukung Prabowo dan Jokowi yang sudah memasuki season ke-483, namun antara salah seorang mahasiswi komunikasi dengan para selebtwit yang tergabung dalam pasukan ala-ala The Avenger.
Entah dari mana asalnya, yang jelas saya mulai mengikuti drama ini kala seorang mahasiswi dengan akun @fathman mempertahankan argumennya dengan salah satu selebtwit @pinotski. Sang mahasiswi tersebut beradu argumen bagaimana baiknya sebuah produk desain dihasilkan. Adu argumen ini semakin ramai kala sang mahasiswi tersebut mengatakan dirinya adalah mahasiswi "bibit unggul", peraih beasiswa ke Jepang dan memiliki banyak prestasi.
Kontan, cuitan ini mendapat banyak kecaman dari banyak warganet, terutama para pengikut selebtwit tersebut yang dikenal juga memiliki banyak prestasi. Â Bukan takut akan serangan bertubi-tubi para netizen yang dikenal dengan kedahsyatannya, namun ia malah terus menambah keras smash serangan, baik kepada netizen yang menyerangnya, maupun kepada selebtwit yang menjadi awal rivalnya itu.
Kondisi semakin seru bagi para netizen yang haus akan drama dan ujaran kebencian kala selebtwit-selebtwit lain semisal @shitlicious, dan lain-lain ikut masuk di dalam pusaran drama. Menyerang sang mahasiswi tersebut dengan berbagai argumen. Salah satu argumen yang tertuju kepada mahasiswi tersebut adalah betapa sombongnya ia dan tak memiliki attitude dalam bercakap, alias nge-tweet.
Bagi yang kontra dengan mahasiswi itu, apa yang dicuitkan olehnya adalah sebuah hal yang patut disayangkan mengingat ia adalah mahasiswi peraih beasiswa ke Jepang. Seharusnya, ia lebih bijak dalam menerima masukan atau hal-hal yang berseberangan dengannya.
O  gitu ya? Mahasiswa seperti saya itu mahasiswa seperti apa sih?  Mahasiswa bibit unggul penerima beasiswa pemerintah Jepang dan menang  lomba di Jepang sebagai perwakilan Indonesia kayak saya udah pernah  belum?— Fathya Rachmani (@fathman) September 14, 2018
Tapi, kata menyerah tidak dilakukan oleh mahasiswi tersebut. Serangan demi serangan yang tertuju dengannya mampu ia balas dengan aneka argumen. Bala bantuan dari selebtwit lain juga tak menggentarkannya untuk terus bertahan. Hajaran dari ribuan netizen juga tak menggoyahkannya untuk membabat habis mereka satu per satu.
Alhasil, pembicaraan pun melebar ke mana-mana. Dari yang saling beradu argumen karya menjadi debat yang tak berujung. Khas debat pendukung Jokowi dan Prabowo yang menunggu kiamat kubro baru akan berakhir. Netizen pun lama-lama juga bosan. Apalagi, drama ini dengan tagar #bibitunggul pun sempat menjadi trending topic di Twitter.
Adu argumen yang tak berkesudahan membuat siapa saja menjadi ganas dan kehilangan pikiran jernihnya demi mempertahankan apa yang dirasa benar. Tidak memihak salah satu kubu, bagi saya kedua-duanya juga salah. Apa untungnya terus berdebat di dunia maya yang belum tentu pesan lengkap dari yang kita utarakan bisa tersampaikan.
Sebagai manusia, kita memang punya keterbatasan. Semuanya adalah bibit unggul yang juga memiliki kekurangan. Tak ada bibit unggul yang bisa ditanam di berbagai kondisi tanah, pencahayaan, dan kadar air. Tak ada manusia yang bisa menguasai banyak hal dengan baik.Â
Inilah pelajaran yang bisa dipetik dari drama bibit unggul ini. Bukan hanya sang mahasiswi, namun juga netizen dan selebtwit yang juga ikut serta di dalamnya. Hanya mereka yang mundur teratur dan tidak ikut larut dalam pertikaian ini adalah bibit unggul sesungguhnya. Mengutamakan berkarya daripada membalas cuitan tak berguna.
Dikeroyok selebtwit, netijen ini 1/2 mati membela diri pic.twitter.com/fJPVKYWyXb--- Info Twitwor & Drama (@InfoTwitwor) September 15, 2018
Terakhir, satu hal yang membuat miris adalah kegemaran warganet Indonesia akan pertikaian. Beberapa diantara mereka bahkan menjadikan pertikaian ini sebagai hiburan gratis di malam minggu. Hiburan yang sebenarnya bukan hiburan dan semakin merusak tatanan hidup bangsa. Apalagi, bagi yang sering berteriak-teriak mengamalkan pancasila degan murni dan konsekuen. Tentu, sifat ini tidak termaktub dalam sila-sila Pancasila, terutama sila ke-3.
Teruntuk selebtwit sendiri, ada baiknya lebih mengontrol emosi dalam menghadapi cuitan semacam ini. Beberapa diantaranya memang cukup arif dalam menanggapi drama ini dengan mulai mundur dan memberi kata penutup berupa wejangan halus kepada sang mahasiswi "bibit unggul". Namun, bagi selebtwit lain yang dengan mudahnya ikut dalam pasukan menggempur sang mahasiswi tadi, ambilah hal ini sebagai pelajaran. Walau telah terhapus, jejak digital itu masih tersisa.
Lebihlah arif dalam menyampaikan pendapat. Meski dengan seni ber-twit yang unik, tak menjadi masalah. Asal, maksud dari penyampaian itu bisa mengena dan tak membuat pertikaian menganga yang berujung nestapa.
Bagi mahasiswi yang merasa "bibit unggul", selalu ingat bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Bibit yang unggul tidak akan memberikan keunggulannya lewat kata-kata, tapi kerja nyata dan prestasi sebagai buktinya.
Salam hangat dari Kompasianer "bibit unggul" yang perlu disiram, alias diberi saran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H