Namun, kau hanya mengulur waktu. Mengajakku berkeliling dari satu wahana  kehidupan ke wahana kehidupan lain. Kau masih bimbang untuk mencari  wahana kebahagiaan yang paripurna. Baik, aku masih bersabar. Kuanggap keputusanmu itu realistis.
Kala kau mendekati "Panggon Lanjak", kuturuti kemauanmu.  Hingga kau tak jadi memilih wahana trompolin itu, aku masih mencoba  sabar dengan kegamanganmu. Kau beralasan, kebahagiaan di sana seperti  trompolin yang tak akan paripurna. Memantul dan hanya sementara. Belum lagi, kita akan terpenjara dalam tali temali yang membelenggu raga.
Panggon Lonjak. - Dokumen Pribadi.
Kau masih bimbang menemukan kebahagiaan itu. Kala kau lihat lampion yang  berkelap-kerlip, sesungguhnya kau juga menyimpan keinginan. Tapi ketika kugelengkan kepalaku, kau sudah tahu bahwa aku pasti menolaknya. Kebahagiaan ini terlalu mahal.
Untunglah kaupun mengerti. Ah, aku sudah tak sabar. Dengan segera,  kutunjukkan dua tiket untuk mencapai puncak kebahagiaan itu. Kudapat  gratis kala kubeli tiket masuk tadi. Aku sengaja menyimpan kebahagiaan  ini karena ternyata tempat ini sedang melakukan promo kebahagiaan. Kebahagiaan paripurna di atas "
Cakra Manggilingan". Ya, kita akan menaiki wahana kebahagiaan itu.
Menuju puncak kebahagiaan. - Dokumen Pribadi.
Kini, kulihat senyum menungging di wajahmu. Seakan berpacu dengan waktu, Â aku segera menarikmu dan berlari menuju wahana itu. Aku tahu ini saatnya yang tepat untuk membahagianmu. Bukan, ini hanya permulaan.
Kebahagiaan yang semakin dekat. - Dokumen Pribadi.
Segera saja kuajak kau masuk dalam ruangan sempit di dalam sebuah  kapsul. Ruangan yang akan kita gunakan bersama nanti. Di balik kaca, kau mulai terlihat bersemangat. Apalagi, kala kapsul itu bergerak naik. Kau  semakin berseri.
Semburat jingga yang semakin pekat menjadikan kebahagiaan kita semakin  mendekati puncak. Tak lama, kala Merapi yang gagah tampak dengan jelas  di depan mata, aku segera melakukan keputusan nekat itu. Mengajakmu berbahagia di puncak paripurna.
Kapsul bianglala sedang menuju puncak. Kurasa itu waktu yang tepat.
Kugenggam lagi tanganmu. Kusibak rambutmu yang mulai basah oleh keringat. Kusampaikan maksudku. Sungguh, ini bukan perkerjaan mudah kala kuraih logika matematika dengan sempurna.Â
Ah, inilah saat yang tepat. - Dokumen Pribadi.
Merapi pun meyaksikan kebagahiaan kita. - Dokumen Pribadi.
Aku tahu jalan kita masih panjang dan berwarna. Tapi yang jelas aku bahagia! - Dokumen Pribadi.
Satu dua menit terasa lama. Selama ritme Cakra Manggala mendaki puncak dengan perlahan. Tetiba, tak sangka kau mengangguk. Ah, rasanya aku tak bisa berbuat banyak  selain memelukmu.Â
Dan kala kapsul bianglala ini mulai turun, senyum  masih terus telukis di wajahmu. Kuanggap ini sebagai kode kala kau  bersedia bersamaku. Saat aku berada di puncak atau saat aku terhempas ke  bawah. Walau sangat bahagia, aku masih meyimpan sedikit penyesalan.Â
Lihat Cerpen Selengkapnya