Saya kaget. Terhenyak. Seperti yang sering diungkapkan Mantan Presiden Bapak Soesilo Bambang Yudhoyono.
Junjungan saya, jika boleh dibilang secara sarkas, Mbak Trinity alias Mbak T mengumumkan pengunduruan diri sebagai penulis buku. Sebuah keputusan kontroversial yang mungkin tidak bisa diterima dengan baik oleh sebagian besar penggemarnya seperti saya.
Penulis empat belas buku yang memulai debutnya dari blog pribadi di awal 2000an ini memang fenomenal. Sudah puluhan negara terjelajahi. Hampir semua provinsi di Indonesia juga telah disambangi. Dengan aneka rupa cerita yang unik, menarik, dan sangat berkesan bagi para pembacanya, ia membuat pembacanya begitu hanyut dalam cerita perjalannya.
Gaya tulisan khas yang to the point, mengulik kisah di balik perjalanan, serta tips-tips bermanfaat. Dikemas seru dengan tambahan gambar yang elegan membuat buku-bukunya selalu menembus best seller. Pun begitu dengan blogpostnya yang langsung diserbu para penggila tulisannya dengan ratusan komentar.
Sayang, semua keasyikan itu akan berakhir. Pada unggahan terakhir di blog pribadinya, Mbak T akhirnya memutuskan pensiun sebagai penulis buku. Buku The Naked Traveler TNT 8 yang akan segera dirilis merupakan buku terakhirnya sekaligus perpisahan kepada pembaca setianya. Tak akan ada lagi TNT-TNT lain.
Apa yang mendasari keputusan sulit itu? Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh Mbak T.
Pertama, dunia perbukuan Indonesia yang semakin suram sehingga berdampak pada kecilnya royalti yang didapat oleh penulis. Tentu, hal ini sudah menjadi efek domino dari penetrasi dunia maya yang menggeser penerbitan dan percetakan.
Namun, Mbak T beralasan bahwa bukan penetrasi itulah yang membuatnya down dan akhirnya memutuskan pensiun. Kemauan membaca masyarakat Indonesialah yang rendah yang menjadi penyebabnya. Fenomena ini juga dibuktikan dengan e-book yang juga terjual sedikit.
Kedua, selera membaca masyarakat Indonesia yang cukup miris juga menjadi penyebabnya. Bacaan berjudul spektakuler, click bait, dan tak terlalu medalam dalam mengupas sesuatu hal yang kini menjadi primadona. Tulisan perjalanan yang biasanya dikemas dengan seni menulis tingkat tinggi kini perlahan tak banyak dilirik. Berganti dengan tulisan (maaf), kualitas rendah semisal "10 Tempat Asyik di Kota YYY" atau "5 Kuliner Menarik di Kota ZZZ" namun unggul dalam teknik SEO.
Tulisan-tulisan tersebut lebih banyak mendapat tempat meski memuat informasi minim. Tulisan jenis travelogue yang menarik, unik, dan diracik dengan keterampilan tinggi pun akhirnya tenggelam. Para pembaca hanya membaca judul dan sub judul. Mereka juga lebih tertarik dengan foto yang begitu menawan meski tak banyak hal yang bisa mereka ketahui.
Pun, demikian yang terjadi pada saya. Memang, jika menulis di Kompasiana, saya masih terbantu dengan label pilihan ataupun Artikel Utama yang disematkan pada artikel saya. Tapi, tidak begitu halnya ketika saya menulis di blog pribadi. Saya harus "mengemis", beralih dari blog ke blog lain untuk sekedar mendapat apresiasi. Kalau hal itu tak saya lakukan, saya jamin tak akan ada pembaca yang akan mau singgah di artikel saya meski saya benar-benar menulis dengan sepenuh hati.Â
Kadang, sedikit rasa pesimis bergelayut dalam hati ketika tulisan saya kalah jauh dibandingkan tulisan semacam 5 tempat menarik tadi yang dipenuhi komentar dan share berjibun. Manusiawi. Namun, jika pemikiran ini mulai menggelayut, saya mengembalikan lagi niat saya menulis. Berbagi, menghasilkan seni, dan menikmati proses di dalamnya.
Mbak T pun sempat berpikir akan banting setir menjadi selebgram saja dengan unggahan banyak foto namun miskin tulisan. Tentu, itu bukanlah yang ada di hati nuraninya.Â
Maka, ia menulis bahwa bisa stres membayangkan hal itu. Belum lagi, jika linimasanya nanti dipenuhi aneka endorse produk yang biasanya dipenuhi aneka cerita menarik. Saya duga, di dalam hatinya, akan banyak pembaca setianya yang meninggalkannya lantaran banyak tulisan review produk walaupun saya tahu Mbak T akan menulis dengan samar dan dengan cara cerdas.
Ketiga, kondisi diperparah dengan komentar di dalam artikel blog yang menyiratkan bahwa artikel tersebut tidak dibaca dan dicermati secara cermat. Entah hanya mengejar setoran atau apa, Mbak T seringkali mendapat pertanyaan yang jawabannya jelas-jelas ada di dalam artikel. Itulah salah satu hal yang memang menjengkelkan.
Sama menjengkelkannya dengan komentar di dalam artikel saya, di blog pribadi yang memanggil saya dengan "Mbak". Padahal, banyak foto di dalam artikel maupun sidebar blog saya yang menyiratkan bahwa saya adalah laki-laki tulen. Jelas, para komentator ini benar-benar parah dalam berkomentar dan hanya membaca judul lalu segera menuliskan komentar. Yang membuat semakin miris, para komentator tersebut juga merupakan blogger yang seharusnya bisa membaca dengan baik dan benar.
Sebagai penulis penuh waktu, tentu hal ini akan sangat berdampak dan saya sangat mengerti hal itu.
Belum lagi, Mbak T mendapat beasiswa dari pemerintah Indonesia untuk Residensi Penulis, maka fokus di dalam tujuan itu menglah keputusan terbaik. Walau sulit, tapi saya menghargai keputusan Mbak T.
Terimakasih sekali atas dedikasimu dalam menulis dan jalan-jalan sehingga saya benar-benar terinspirasi melakukan dua hal yang sangat menyenangkan tersebut.
Semoga sukses untuk studinya.
***
Sumber : (1)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H