Program pelatihan pun akhirnya menjadi eksklusif. Banyak bibit-bibit unggul yang sebenarnya berpotensi namun belum menunjukkan hasil akan tenggelam. Selain itu, pembinaan juga belum berisfat jangka panjang. Jarang sekali atlet di bawah 17 tahun yang dipanggil untuk pemusatan latihan.
Di pendidikan formal pun, banyak anak-anak yang memiliki mimpi untuk seperti Schooling akhirnya hanya bisa melihat dari balik layar kaca. Masih belum luas kesempatan untuk mengembangkan potensinya menjadi alasan utama.Â
Orang tua yang belum mendukung atau sarana yang minim juga sering menjadi kendala. Walau banyak yang sudah melakukan, kelas-kelas renang di sekolah formal pun tidak bisa berjalan maksimal. Olahraga renang pun akhirnya menjadi sarana just for fun tanpa pengembangan lebih jauh lagi. Mimpi anak-anak yang ingin seperti Schooling pun hanya bisa menjadi mimpi.
Tak hanya itu, beban berat yang disematkan pada atlet renang Indonesia juga menjadi catatan sendiri bagi kegagalan kita kali ini. Siman Sudartawa yang tak berdaya menghadapi atlet-atlet dari Tiongkok dan Jepang mengakuinya.Â
Hal yang berbeda justru dirasakan Schooling yang tampil tanpa beban dan baru tersadar memenangkan pertandingan setelah kepalanya keluar dari air. Inilah yang bisa dijadikan pembelajaran agar atlet-atlet renang kita untuk juga bisa menambah jam terbangnya agar  bisa tampil rileks dan fokus pada pertandingan. Dan tentunya, mental itu juga harus diasah sejak dini.
Semoga, momen ini menjadi titik penting yang bisa saja menginspirasinya untuk bisa menjadi Schooling. Atau bahkan, bisa lebih baik dan mengharumkan nama Indonesia di olahraga akuatik. Olahraga yang sebenarnya harus dimenangkan Indonesia dengan garis pantainya yang luas.
Semoga harapan anak-anak ini mendapat dukungan dari banyak pihak. Dukungan penuh seperti dukungan yang dilakukan APP Sinarmas yang berkontribusi sebagai official partner Asian Games 2018.
Kalau Singapura bisa, Indonesia juga harus bisa!
Sumber:
Salah Satu Pelatih Kemukakan Kekurangan Renang Indonesia