Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Balada SKP dan Ke(tidak)inginan Menjadi PNS

9 Agustus 2018   09:05 Diperbarui: 10 Agustus 2018   09:30 2261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal bulan ini, WhatsApp group saya dipenuhi berita mengenai penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).

Mungkin, dari sekian teman yang antusias mengikuti berita tersebut, saya adalah salah satu orang yang tidak terlalu antusias. Apatis lebih menyibukkan di dunia yang saya tekuni.

Selain memang tak ada minat untuk ikut tes CPNS, ada satu hal di dalam dunia per-PNS-an yang tidak sesuai dengan prinsip dan hati nurani saya.

Memang, pilihan orang berbeda-beda dan saya sangat menghargai rekan yang benar-benar ingin mengabdi menjadi PNS. Lantas, apa yang menjadi ganjalan utama saya untuk tak ambil bagian dari perhelatan akbar ini? Satu hal itu adalah Sasaran Kerja Pegawai (SKP).

Sama halnya dengan pekerjaan lain yang membutuhkan penilaian kerja, menjadi PNS juga dinilai dalam bentuk SKP. Hal ini termuat dalam PP Nomor 46/2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS dan Perka BKN Nomor 1/2013 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 46/2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS.

Ketentuan-ketentuan tersebut memberi amanat bahwa setiap PNS harus menyusun SKP setiap awal tahunnya. Tujuannya, tak lain sebagai bahan evaluasi yang obyektif mengenai target dan rencana kerja yang bisa diukur dalam kurun waktu tertentu, dalam hal ini satu tahun penilaian.

SKP yang merupakan penyempurnaan dari DP3 ini sebenarnya menjadi acuan bagi aparatur negara untuk mengukur tingkat profesionalitasnya di dalam dunia kerja.

Secara umum, penilaian prestasi kerja PNS terbagi menjadi 2, yakni SKP (dengan bobot 60%) dan perilaku kerja/DP3 (dengan bobot 40%). Akumulasi dari kedua unsur itulah yang akan menentukan nilai kinerja PNS dalam satu tahun.

Dengan adanya SKP, sistem penilaian pekerjaan menyempurnakan sistem pada era sebelumnya sebagaimana diatur dalam PP Nomor 10 tahun 1979 yang memiliki kelemahan yaitu mengutamakan penilaian perilaku. Penilaian seperti ini sangat terlihat unsur subjektivitasnya. Dengan adanya SKP, diharapkan penilaian kerja PNS bisa objektif karena memuat bukti fisik yang harus dipenuhi.

Unsur Penilaian PNS. - (Sumber : BPKP)
Unsur Penilaian PNS. - (Sumber : BPKP)
Namun, kegiatan yang semestinya dilakukan dengan jelas, dapat diukur, relevan, dapat dicapai, dan memiliki target waktu ini masih menyimpan banyak kelemahan.

Penilaian prestasi kerja itu akhirnya menjadi sekedar pengugur kewajiban yang harus dilaksanakan setiap tahun. Menjadi dokumen pelengkap kala pemberkasan penting seperti kenaikan pangkat.

Selama menjadi operator di sebuah sekolah yang juga turut membantu pemberkasan SKP Guru PNS, setidaknya ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian serius terutama pihak yang berkaitan dengan penilaian ini seperti BKN, BKD ataupun Kemenpan-RB RI.

Pertama, tata cara pengisian dan penilaian SKP tidak tersosialisasi dengan baik. Pemberlakukan SKP dimulai tahun 2014. Saat itu, sebagai operator saya diminta untuk mengikuti semacam pelatihan singkat selama 1 jam di UPT Pendidikan Dasar.

Sebelum memulai pelatihan itu, ada satu kejanggalan yang menjadi bahan pertanyaan di dalam diri saya. Mengapa yang diundang bukan guru PNS yang seharusnya terlibat langsung di dalam pengisian ini?

Walau dengan alasan operatorlah yang akan membantu mengerjakan SKP ini, setidaknya mereka perlu dilibatkan langsung dalam proses ini. 

Memahami poin-poin penting di dalam penyusunan target kerja, melakukan evaluasi terhadap kinerjanya, dan mencoba memahami apa saja kelebihan dan kekurangan mereka saat menjadi PNS pada kurun waktu tertentu.

Memang, tujuan dari kegiatan tersebut agar operator bisa memberi arahan tata cara pengisian SKP kepada para PNS di lingkungan sekolah masing-masing.

Namun, karena operator merupakan tenaga honorer yang tidak pernah mengikuti pra jabatan PNS atau kegiatan tentang per-PNS-an lainnya, informasi yang didapat pun akan setengah-setengah.

Berbeda halnya dengan para PNS sendiri yang mengikuti arahan tersebut. Mereka dapat menanyakan hal-hal penting terkait proses pengisian tersebut jikalau ada hal yang tidak jelas.

Contoh Formulir SKP. - Sumber : BPKP
Contoh Formulir SKP. - Sumber : BPKP
Kedua, format SKP yang berganti tiap tahun membuat pelaporan SKP sering menjadi kendala dan membuang banyak waktu serta biaya.

Ketika dokumen SKP telah tercetak dan siap untuk dikumpulkan, sering terjadi kesalahan. Yang unik, kesalahan tersebut sering disebabkan oleh bergantinya format SKP tiap tahun. Entah keterangan pejabat penilai atau hal-hal remeh temeh seperti tanggal pengumpulan dan penilaian.

Walau sepele, bolak-balik mencetak SKP tanpa adanya pemberitahuan lebih dulu adalah kegiatan yang tidak efektif.

Belum lagi, jika biaya pencetakan SKP itu berasal dari sekolah, apa tidak merupakan sebuah pemborosan?

Ketiga, berkaitan dengan poin pertama mengenai kurangnya pelibatan langsung PNS di dalam sosialisasi SKP ini, maka banyak ditemukan sikap apatis PNS pada proses penyusunannya.

Memang, ada pula PNS yang benar-benar berniat menyusun SKP ini bahkan sampai mengecek bukti fisik dari serangkaian kegiatan mereka dalam satu tahun.

Namun, ada pula yang sangat apatis hingga menjiplak perencanaan dan hasil kerja selama satu tahun. Tanpa tedeng aling-aling, pengerjaan SKP seakan seperti mengisi kuisioner yang bisa saja diseragamkan dengan milik teman.

Padahal, ada tanggung jawab moral ketika proses berlangsung.

Apakah mungkin dua orang PNS memiliki target kerja dan pencapaian yang sama persis? Toh mereka bukan robot yang seragam. Belum lagi, penyusunan SKP ini memiliki perbedaan tiap golongan/pangkat dengan poin tertentu.

Keempat, dengan kurangnya sosialisasi dan sikap apatis pada beberapa PNS, maka sering ditemui ketidaktahuan untuk membedakan pengisian target kerja kegiatan tugas jabatan (unsur utama) dan tugas tambahan.

Contoh unik terjadi ketika cukup banyak guru PNS yang memasukkan kegiatan menjadi pengawas USBN ke dalam unsur utama, padahal jelas-jelas kegiatan tersebut merupakan tugas tambahan.

Kelima, sering tidak dilakukan pengecekan bukti fisik dari taget yang ingin dicapai pada saat proses pengukuran.

Memang, masih ada pejabat atasan semisal Kepala Sekolah bagi guru atau Bagian Fugsional Diknas bagi Kepala Sekolah yang akan mengecek dokumen bukti fisik sebelum membuat penilaian SKP. Tapi tak jarang, banyak pula dari pejabat penilai tersebut yang akan langsung membubuhkan tanda tangan jika format SKP telah dirasa benar.

Maka, celah untuk memanipulasi data sangatlah besar. Jangan kaget akan banyak oknum-oknum PNS yang memasukkan data mengenai pelatihan yang sebenarnya tidak mereka ikuti ke dalam SKP.

Jangan kaget pula jika ada oknum Guru PNS yang memasukkan data mengenai pembuatan media pembelajaran ke dalam SKP walau media tersebut telah dibuat beberapa tahun sebelumnya.

Padahal, syarat dokumen bukti fisik yang dimasukkan ke dalam SKP adalah pada kurun waktu penilaian tersebut.

Terakhir, di dalam pengukuran SKP terdapat nilai realisasi dari target kerja yang dihasilkan. Untuk masalah nilai tak boleh terlalu tinggi bagi PNS dengan golongan rendah mungkin masih masuk akal. Dengan tujuan, semakin tinggi pangkatnya maka akan terjadi kenaikan berkala yang menjadi semangat bagi PNS untuk meningkatkan kinerjanya.

Namun, satu hal yang cukup mengganjal adalah ternyata seberapa banyak target kerja yang dicapai tidak memberikan dampak nilai yang signifikan bagi total nilai yang dicapai.

Misalkan, ada PNS yang telah berhasil melaksanakan 12 target kerja dalam satu tahun belum tentu nilainya lebih tinggi daripada PNS yang hanya bisa melaksanakan 6 target kerja.

Apalagi, jika keduanya memiliki nilai realisasi yang sama. Kalaupun berbeda, perbedaannya pun tak terlalu jauh. Setelah beberapa kali mengamati rumus excel format SKP, ternyata bilangan pembagi total nilai untuk pengukuran SKP ini adalah jumlah target kerja yang telah disusun.

Contoh Nilai Capaian SKP yang merupakan rata-rata realisasi dari target yang telah disusun. - Dokumen Pribadi.
Contoh Nilai Capaian SKP yang merupakan rata-rata realisasi dari target yang telah disusun. - Dokumen Pribadi.
Bisa dibilang, jika tak ingin mendapat nilai rendah, maka jangan menyusun target kerja yang terlampau banyak toh nantinya hasilnya tak jauh berbeda dengan yang menyusun target sedikit.

Tidak ada pula penambahan nilai untuk PNS yang bisa menyelesaikan target kerja lebih tinggi.

Lantas, apakah ada dorongan semangat untuk meningkatkan kinerja? Apakah tidak ada poin lebih bagi PNS yang benar-benar ingin mengabdi dengan menyusun banyak target dan serius bekerja untuk merealisasikan target tersebut?

Itulah beberapa hal di dalam SKP PNS yang bisa dijadikan sedikit gambaran bagi rekan-rekan yang memang ingin mengabdi menjadi PNS.

Namun sebenarnya, tidak menjadi PNS pun kita juga bisa mendapat banyak hal yang berharga dan bermanfaat bagi sesama.

Tetapi jika sudah menjadi PNS, bekerjalah dengan sepenuh hati dan susunlah SKP dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab.

Sekian, mohon maaf jika ada kesalahan. Salam.

Sumbr: (1)(2)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun