Bakso itu ya Malang, Malang itu ya Bakso.
Siapa sangka, ungkapan itu benar-benar masuk di hati sanubari kebanyakan orang. Jika Jogja sangat kental dengan Gudegnya dan Palembang dengan Pempeknya, maka tak ayal lagi, Bakso telah begitu mendarah daging di hati sanubari orang Malang.
Sebagaimana yang telah diajarkan oleh guru saya dan orang tua, saya memang tak boleh pilih-pilih makanan. Namun, tidak untuk bakso. Kriteria "enak" yang cukup tinggi saya sematkan pada makanan satu ini. Hanya "enak" dan "tidak enak". Kriteria umum berupa kuah kaldu yang mantap, daging pentol yang halus, serta tak banyak penyedap rasa membuat tiga kriteria itu harus masuk di dalam hidangan bakso yang tersaji di depan saya.
Ratusan pedagang bakso mungkin berseliweran di depan saya. Ratusan gerai bakso juga ada di tepi jalan dengan menawarkan tempat yang asyik dan berkelas. Tapi, pilihan saya untuk masalah bakso di Kota Malang jatuh pada penjual bakso satu ini. Bertempat di persimpangan Jalan Semarang-Salatiga, tepatnya di depan pintu Kampus Universitas Negeri Malang (UM), bakso ini berada.
Tapi, rupanya penikmat bakso tidak hanya dari kalangan kampus pendidikan itu. Ada banyak juga warga Kota Malang yang jauh-jauh datang untuk berjuang mendapatkan pentol bakso demi pemtol bakso. Berebut dengan penikmat lain yang juga memiliki tujuan serupa. Menguasai banyak pentol bakso untuk segera disantap.
Untunglah, pedagang bakso yang berjualan di dekat pos kamling itu benar-benar menyiapkan diri menghadapi gempuranp. Ia menata sedemikian rupa alur pembelian agar tidak terjadi aksi huru-hara akibat rebutan bakso dari para fans garis keras. Maka, alur pembelian pun harus dipatuhi. Layaknya resto yang menggunakan model prasmanan, pembelian bakso ini menggunakan sistem self service.
Pertama, pembeli harus mengambil mangkuk beserta tatakannya. Tatakan diperlukan untuk memudahkan pengambilan kuah bakso dan membawa mangkuk.
Kedua, saatnya mengambil sayuran yang terdiri dari daun selada, kecambah, serta mie kuning dan mie putih. Tidak ada batasan untuk mengambil bahan-bahan tersebut asal habis dimakan.
Keempat, saatnya isi dari bakso tersebut disiram dengan kuah. Namun, kegiatan ini harus dipandu pedagang bakso agar tak berebut. Kita bisa melakukan permintaan banyaknya kuah yang kita inginkan. Nah, kalau isi bakso dirasa kurang, kita bisa meminta pedagang bakso mencelupkan isi bakso yang hangat ke dalam mangkuk.
Kelima, jangan lupa untuk menambahkan irisan bawang selederi dan bawang goreng ke dalam mangkuk bakso. Tapi, masih ada satu hal yang juga tak boleh dilewatkan. Pedagang bakso menyediakan jeruk nipis untuk diperas di atas kuah bakso yang panas. Inilah yang menjadi salah satu ciri khas dari bakso ini. Lalu, pedagang pun akan menghitung harga bakso yang kita beli dan baru kita bayar seusai menyantap bakso. Â
Setelah semua usai, maka waktu untuk bergerilya mencari tempat pun dimulai. Yang unik, pedagang bakso ini tak menyediakan tempat duduk. Jadi, kita harus duduk di emperan yang ada di sekitar rombong bakso. Ada selasar pos kamling yang cukup sempit dan ada pula taman kecil jika ingin mendapatkan posisi yang lebih longgar. Pedagang bakso juga telah menyebar kecap, saos tomat, dan sambal pedas yang mantap di beberapa sudut untuk mengemper.
Jadi, masih ada alasan untuk tidak datang di ICD Kompasiana dan mencoba kenikmatan tiada tara bakso ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H